Penerapan Total Productive Maintenance di Lab Kalibrasi

0 komentar Minggu, 29 Maret 2009

Total Productive Maintenance (TPM) adalah konsep pemeliharaan yang mellibatkan semua karyawan dengan tujuan efektivitas pada kesleuruhan sistem produksi melalui partisipasi dan kegiatan pemeliharaan yang produktif.

Dua kata utama pada salah satu ilmu manajemen maintenance ini adalah “produktif” dan “total”. Itu artinya maintenance jenis ini ingin tampil berbeda dengan konsep maintenance lainnya dalam penonjolan kedua istilah itu.

TPM juga memberi konsekuensi untuk mengutamakan pencegahan gangguan, sehingga motonya menjadi “maintenance is free”. Bagaimana seorang operator perangkat mengetahui melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya pereventif dan sedini mungkin mengetahui adanya potensi gangguan, sebelum gangguan benar-benar terjadi.

Bagaimana mungkin kita bisa melakukan pencegahan gangguan pada perangkat kita ?

Ini sangat dimungkinkan, walaupun dalam batas life-time menyatakan suatu perangkat berumur 15 tahun, bisa saja jika terus dilakukan maintenance secara apik, maka batas umur itu akan terlampaui. Disamping itu dalam kenyataannya, penyebab gangguan sebenarnya sebagiannya bukan datang dari dalam perangkat, tapi dari luar, meliputi debu, baut kendor (sehingga mengganggu dudukan PCB), goresan, goncangan, suhu, kelembaban, air, dan lain-lain.

Karenanya gunakan semua cara yang dapat membuat perangkat menjadi awet. Bahkan konon katanya jika suatu perangkat elektrik terlalu lama tidak dinyalakan, maka akan cepat rusak. Jika memiliki lebih dari satu signal generator, misalnya, gunakan secara bergantian.

Jadi apa saja yang harus dilakukan teknisi dalam melakukan TPM ini ?

1. Belajar melakukan pemeliharaan berkala secara rutin.

Periksalah kondisi ruangan setiap harinya, bagaimana keadaan temperatur, kelembaban, dan kondisi kebersihan di dalam Lab. Pada kondisi kalibrasi on-site, ini kadang menjadi persoalan yang cukup serius, dimana perangkat standar tidak dapat dikondisikan pada suhu yang sesuai seperti kondisi di Lab.

2. Menerima dan melakukan pedoman penggunaan perangkat secara wajar.

Cara penggunaan perangkat dengan benar, baik perangkat standar maupun perangkat kastamer (unit under test), biasanya sudah diberikan secara detail dalam manual (user guide ataupun calibration guide). Para teknisi harus membiasakan diri untuk selalu menggunakan pedoman ini secara konsisten, dalam keadaan apapun juga. Jangan sampai karena sudah merasa “hafal di luar kepala”, alat ukur tidak digunakan secara wajar, misalnya seharusnya warm up perlu 30 menit, baru 5 menit saja sudah langsung digunakan. Atau sebaliknya, jangan malas melihat petunjuk penggunaan alat ukur melalui manualnya, misalnya dalam melakukan self calibration, yang terkadang membutuhkan banyak step sebelum perangkat siap digunakan mengukur.

3. Membiasakan untuk menemukenali sedini mungkin tanda-tanda perangkat mengalami penurunan kinerja.

Dalam sistem mutu ISO 17025, salah satu sarana untuk menemukenali ini adalah dengan melakukan drift monitoring, yaitu dengan mengecek kinerja perangkat, apakah masih dalam batas kewajaran atau sudah berada di luar spesifikasi.

Drift monitoring umumnya dilakukan secara periodik, bisa pertahun, bisa per enam bulan, tergantung pada jenis perangkat. Bahkan untuk perangkat yang frekuensi pemakaiannya tinggi, kegiatan ini harusnya dilakukan lebih sering lagi. Drift monitoring juga bisa dilakukan aksidental, misalnya pada kondisi yang mengharuskan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kinerja perangkat.

Namun demikian, terkait dengan point 3 di atas, saya lebih cenderung sekaligus menggunakan kegiatan kalibrasi sehari-hari untuk melakukan drift monitoring, karena sering terjadi ada suatu alat ukur kastamer dikalibrasi menggunakan satu perangkat standard sebagai meter dan satu lagi perangkat standar sebagai source. Jika parameternya sama, mengapa tidak sekalian saja dicek (saling silang) antar perangkat standar tersebut ? Bahkan ada kalanya alat ukur kastamer dapat digunakan untuk mengecek akurasi perangkat standar milik Lab. Tentu ini semua ada aturan dan prosedur yang harus ditaati oleh para teknisi.

Sementara itu, technical manager atau setidaknya teknisi senior juga harus mendukung TPM ini dengan cara sebagai berikut :

1. Membantu para teknisi mempelajari kegiatan maintenance yang dapat mereka lakukan sendiri, atau dengan kata lain meningkatkan kemampuan mereka dalam hal maintenance.

Perlu ada peningkatan pengetahuan untuk para teknisi, bahkan untuk yang sudah terbiasa bekerja sehari-hari di Lab. Peningkatan ini bisa melalui pelatihan, seminar, built in training, bahkan diskusi informal sehari-hari di Lab.

Topik bahasan bukan hanya bagaimana melakukan kalibrasi, tapi juga bagaimana melakukan maintenance secara benar.

2. Memperbaiki penurunan kemampuan perangkat standar dan asesories lainnya, misalnya melalui proses repair, adjustment, bahkan mengubah metode pengukuran dalam kalibrasi.

Tidak berfungsinya kipas (fan) perangkat jangan diremehkan, karena jika dibiarkan terus dan perangkat digunakan dalam waktu yang lama, maka bisa berakibat suhu di dalam perangkat akan melebihi batasan. Ini berpotensi memperpendek umur perangkat.

3. Dalam tingkat yang lebih advance lagi, temukan kelemahan rancang bangun perangkat standar dan asesoris lainnya dan berangkat dari sini lakukan perencanaan untuk dapat mengantisipasi potensi gangguan pada perangkat nanti.

Dari pengalaman anda, mungkin muncul kesimpulan bahwa perangkat jenis A dengan merk X memiliki kinerja yang kurang baik, misalnya panasnya berlebihan dan akurasinya tidak stabil. Mungkin anda tidak akan merekomendasikan pengadaan alat serupa untuk suatu keperluan lain di departemen lain di perusahaan anda, apalagi jika itu untuk digunakan dalam operasional kalibrasi di Lab anda.

Namun jika anda sudah terlanjur memilikinya, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan kemampuan perangkat tersebut atau membatasi penggunaannya pada kondisi tertentu saja. Contoh seperti yang pernah Lab saya lakukan, pada kasus dimana kami memiliki empat signal generator berjenis, tipe, dan merk sama. Keempat-empatnya ternyata baru ketahuan merupakan perangkat yang akurasi frekuensinya terkadang tidak stabil. Namun dari keempatnya, ada satu yang benar-benar sudah di luar spesifikasinya. Maka kami putuskan menggunakan perangkat yang satu ini khusus sebagai salah satu signal generator utama di Lab, sedangkan ketiga lainnya bisa digunakan dalam kalibrasi on-site. Akurasi frekuensinya kami jaga dengan cara terus mencatukannya dari referensi out dari Rubidium Frequency Standard melalui suatu distribution amplifier. Maka perangkat ini kini memiliki akurasi setara Rubidium, lebih tinggi daripada ketiga perangkat lainnya tadi.

PREVENTIVE MAINTENANCE

TPM ini sebenarnya memiliki hubungan erat dengan preventif maintenance. Semangatnya adalah agar teknisi tidak disibukkan dengan hal-hal yang bersifat korektif, perbaikan karena ada kerusakan. Tanpa disadari, seringkali effort untuk hal ini terlalu besar sehingga membuat seluruh anggota Lab jadi sibuk namun hasilnya sedikit.

Semua teknisi perlu diberi kesadaran bahwa sebenarnya ada beberapa penyebab utama gangguan suatu perangkat elektrik, bahkan yang pasif sekalipun. Dan penyebab itu sebagiannya adalah karena faktor manusianya, bukan faktor perangkat secara fisik. Jika perangkat cepat rusak karena sering dibiarkan dalam keadaan kotor, itu bukan salah perangkat, tapi karena manusianyalah yang membiarkannya kotor. Pemahaman ini walau terkesan sederhana harus menjadi pemahaman dasar bagi semua personel Lab Kalibrasi, bukan hanya para teknisi saja.

Kiyoshi Suzaki menyodorkan lima penyebab utama gangguan pada mesin, yang saya adaptasi untuk perangkat kalibrasi, sebagai berikut :

1. Kelalaian memenuhi pemeliharaan dasar yang dibutuhkan perangkat

2. Kesalahan menjaga kondisi perangkat dengan benar sesuai dengan petunjuk pabrikan

3. Kurangnya ketrampilan, misalnya teknisi yang teledor mengubah setting config file pada alat ukur yang berbasis OS komputer

4. Kondisi perangkat yang sudah tua atau usang

5. Penyimpangan dari maksud rancang bangun perangkat, misalnya power supply digunakan begitu saja sebagai sumber tegangan

Pemeliharaan tentu akan bertambah persyaratannya jika suatu perangkat didisain sebagai sebagian saja dari sistem, misalnya perangkat harus dihubungkan dengan komputer agar dapat diakses data hasil ukurnya. Untuk kasus ini maka pemeliharaan juga harus dilakukan pada komputer, meliputi pemeliharaan hardware komputer itu sendiri (RAM, Harddisk, dan motherboard) dan software (operating system dan software aplikasi khusus perangkat) .

image

Gambar. Pencegahan gangguan atau kerusakan perangkat

Dengan melihat gambar di atas, tidak berarti bahwa program perventif maintenance selalu dimulai dengan melakukan pemeriksaan berkala. Anda bisa memulai step-step tersebut dari mana saja, tergantung pada kondisi dan prioritas pada lab anda.

Mari kita coba detailkan step-step pencegahan gangguan perangkat tersebut.

1. Memelihara kondisi wajar perangkat

Lakukan pemeliharan secara berkala, baik dalam bentuk kegiatan kalibrasi, drift monitoring, bahkan kegiatan kalibrasi sehari-hari. Saya lebih suka melakukan kalibrasi dua sampai tiga perangkat kastamer (unit under test) sejenis sekaligus daripada satu demi satu. Bisa ditebak, karena dengan begitu saya dapat membandingkan hasil ukur antar alat ukur, sehingga jika ada salah satu perangkat mengalami gangguan, lebih mudah ditemukenali. Bahkan jika perangkat kastamer tersebut memiliki spesifikasi yang bagus, perangkat standar kita pun dapat dicek tingkat akurasinya.

Pengencangan konektor yang tersambung pada alat ukur harus dilakukan secara proporsional, umumnya tidak terlalu kencang namun juga tidak terlalu longgar. Lakukan koneksi konektor dan kabel dengan lembut, terutama pada perangkat yang membutuhkan soft handling seperti perangkat optik.

Prosedur operasi juga harus diikuti dengan baik. Ikuti petunjuk pabrikan dengan baik agar perangkat dapat memberikan kinerjanya secara maksimal. Jika warm up dinyatakan sekitar 15 menit, maka sebelum batas waktu ini jangan digunakan untuk pengukuran, karena perangkat bisa saja belum stabil sehingga penunjukannya bisa berubah-ubah.

Terkait prosedur operasi, saya menyarankan agar juga memasukkan kegiatan yang bersifat maintenance di dalamnya, tidak hanya mengutamakan deskripsi tentang tahapan kalibrasinya saja. Seringkali hal ini diabaikan karena menganggap semua teknisi memiliki pengetahuan yang cukup tentang handling alat ukur, padahal dalam kenyataannya tidak.

Jangan lupa stabilkan listrik PLN, usahakan menggunakan stabilizer yang mampu mengubah tegangan jala-jala (PLN) menjadi tegangan dengan bentuk yang lebih murni. Ini dapat menghemat listrik, dan ini secara teknis akan dapat memperpanjang umur perangkat. Disamping itu, dan ini justru yang lebih penting, adalah dapat memperkecil ketidakpastian pada akurasi perangkat. Coba lihat spesifikasi perangkat. Biasanya ada penambahan ketidakpastian yanng harus dilakukan dengan semakin labilnya tegangan catuan.

Untuk kegiatan kalibrasi onsite, perlu kehati-hatian dalam transportasi. Pengepakan yang salah, mengguanakan peti yang dididisain seadanya akan dapat mengakibatkan perangkat rusak. Lebih baik membeli peti khusus yang agak mahal daripada perangkat yang harganya ratusan juta menjadi rusak karenanya. Pastikan anda sebagai teknisi mengawasi proses pengepakan perangkat di sela-sela kesibukan anda mengurus administrasi keberangkatan.

2. Menemukan kondisi tak wajar dari perangkat sedini mungkin

Terkadang panca indra manusia cukup tajam untuk mengetahui gangguan suatu alat ukur, misalnya bau PCB terbakar, percikan api, bunyi dengung, atau panas diluar kewajaran. Akan sangat baik jika ini didukung oleh perangkat diagnostik khusus untuk menemukan kondisi tidak wajar ini, walaupun tetap saja saya menyarankan ketrampilan manusianya lah yang lebih utama, jangan melulu mengandalkan perangkat diagnostik tersebut yang juga memiliki keterbatasan, seberapapun canggihnya.

3. Mengembangkan dan menerapkan penanggulangan untuk pemulihan kondisi perangkat

Mengajukan pertanyaan Why sebanyak lima kali ini sebenarnya mengajarkan kepada kita untuk mencari akar permasalahan yang sebenarnya, karena sebab suatu masalah bisa jadi hanyalah akibat dari suatu sebab lainnya. Jadi tidak harus berjumlah lima, tergantung pada kondisi permasalahan anda.

Saya punya cerita unik tentang ini. Suatu saat ketika kami melakukan kalibrasi on-site di suatu perusahaan peralatan musik, kami disibukkan selama berjam-jam dengan kondisi perangkat standar kami yang tidak wajar. Sampai akhirnya kesimpulan sementara menyatakan bahwa perangkat tersebut harus “dipulangkan” dan diganti dengan perangkat lain yang memiliki kemampuan setara. Namun secara tidak sengaja ada rekan teknisi yang memindahkan catuannnya pada power supply lainnya. Dan ternyata perangkat menjadi pulih akurasinya.

Setelah melakukan diskusi, ternyata power supply perangkat tersebut memang tidak satu koneksi dengan power supply untuk perangkat lainnya (kebetulan di ruang tersebut ada beberapa stop kontak dan kami menggunakan lebih dari satu). Dan kondisi grounding satu power supply tidak bagus, kondisi yang ternyata tidak disadari juga oleh teknisi perusahaan musik, karena ruangan itu tadinya adalah ruang untuk administrasi yang kami sulap sementara menjadi ruang kerja kalibrasi.

Ada satu cerita lagi yang mungkin bisa saya share di sini. Suatu ketika teknisi menyatakan bahwa error pengukuran suatu parameter frekuensi dari suatu signal generator milik kastamer “out of spec”, dimana perangkat standard yang digunakan adalah frequency counter dengan reference input dari Rubidium Standard. Namun technical manager curiga karena signal generator tersebut masih dalam kondisi relatif baru. Setelah pengukuran diulang, ternyata hasilnya menunjukkan kesimpulan yang sama. Kemudian dilakukan perbandingan hasilnya menggunakan frequency counter yang berbeda, namun masih dengan reference input yang sama (dari Rubidium).

Kemudian ditanyakan kepada teknisi perubahan setting apa yang dilakukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya (misalnya kondisi kemarin). Dari pertanyaan ini, akhirnya dapat ditemukan akar masalah sebenarnya. Ternyata kabel yang menghubungkan antara Rubidium dengan frequency counter sudah mengalami penurunan kinerja, atenuasinya terlalu besar sehingga level pada input “reference in” frequency counter tidak cukup memenuhi syarat, sehingga akurasi frequency counter jadi menurun.

Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini, secara keseluruhan perlu ada analisa kinerja perangkat secara keseluruhan, disesuaikan dengan life time perangkat. Ada baiknya di setiap perangkat dicantumkan tahun pembelian dan life time (jika ada) sesuai manual atau katalog. Beri tanda tertentu untuk perangkat yang sudah berada pada daerah “kuning”, yang sudah mendekati batas akhir life-time nya. Untuk perangkat ini perlakuannya harus dibedakan, misalnya dengan melakukan drift monitoring dengan frekuensi lebih sering. Informasi tentang life-time dari pabrikan tentu tidak harus jadi patokan satu-satunya, karena banyaknya faktor lain yang mempengaruhi kinerja suatu perangkat. Namun demikian, pabrikan pasti punya argumen sendiri untuk memberikan data tersebut.


 

File PDF : Penerapan TPM di Lab Kalibrasi

Referensi

Tantangan Industri Manufaktur – Penerapan Perbaikan Berkesinambungan, Kiyoshi Suzaki, disadur oleh Ir Kristianto Jahja, PQM, 1991

read more “Penerapan Total Productive Maintenance di Lab Kalibrasi”

Service Recovery

1 komentar Sabtu, 28 Maret 2009

Dalam suatu proses bisnis kalibrasi, kaulitas menjadi parameter yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi dengan semakin kritisnya kastamer saat ini dengan semakin mudahnya penyebaran knowledge kalibrasi dan proses penjaminan mutu di dalamnya. Ada saja kastamer yang pada kesempatan berikutnya tidak lagi melakukan kalibrasinya kepada lab kalibrasi karena sudah mampu melakukan kalibrasi sendiri lengkap dengan berbagai dokumen, prosedur, da proses dalam sistem mutunya.

image

Bahasan kali ini adalah tentang Service Recovery, yaitu kegiatan dalam mengantisipasi kegagalan dalam suatu layanan yang sudah diberikan. Ini berpotensi muncul karena hal-hal berikut :

1. Perbedaan tolak ukur hasil layanan kalibrasi antara kastamer dengan Lab kalibrasi.

Dalam kenyataannya kastamer sering tidak paham (dan terkadang merasa tidak perlu tahu) tentang proses dan hasil kalibrasi. Mereka sering hanya ingin tahu apakah alat ukurnya masih sehat atau tidak. Andaikan tidak sehat seberapa besar deviasi atau error-nya. Fakta ini akan memberi konsekuensi perbedaan dalam persepsi, dan itu berpotensi menjadi complaint, minimal muncul perasaan tidak puas.

2. Pada umumnya data dan sertifikat kalibrasi didisain minim informasi berupa deskripsi atau “cerita”, biasanya hanya angka, grafik dan hasil-hasil ukur yang umumnya tidak mudah begitu saja ditafsirkan oleh seorang teknisi penggunanya sekalipun.

Karenanya hasil usaha keras seorang teknisi kalibrasi dalam melakukan pengukuran seakurat mungkin tidak akan tercermin dalam lembar data dan sertifikat kalibrasi. Keberhasilan proses adjustment misalnya, yang sering membutuhkan effort yang tidak kecil, sering tidak berdampak apa-apa untuk meningkatkan kepuasan kastamer, karena kastamer dari awalnya juga tidak tahu bagaimana kondisi alat ukur sebelum dikalibrasi. Andaikan saja kita dapat menceritakan bagaimana proses kalibrasinya dan itu bisa dimengerti oleh orang yang dapat memahaminya (di pihak kastamer), mungkin hal ini dapat dapat berpotensi meningkatkan image Lab Kalibrasi.

3. Secara alamiah, umumnya proses kalibrasi tidak dilihat langsung oleh kastamer.

Seringkali dalam kasus di perusahaan saya, kastamer sering diajak berdiskusi dulu tentang semua hal terkait layanan kalibrasi, dari mulai kondisi penggunaan alat ukur di operasionalnya sampai ke knowledge mereka tentang kalibrasi dan kemampuan memanfaatkan hasil kalibrasi. Ini dilakukan dengan tujuan agar kastamer juga mengerti tingkat kesulitan yang Lab hadapi sehingga setidaknya dapat memberi gambaran bahwa uang yang mereka keluarkan untuk layanan kalibrasi tidak “percuma”.

Mungkin ada sebab-sebab lainnya, silakan anda cari sendiri terutama dikaitkan dengan kondisi layanan yang perusahaan atau Lab anda berikan. Pada tulisan singkat ini akan lebih ditekankan pada bagaimana melakukan service recovery-nya.

Ada suatu presentasi tentang Service Quality, yang sayangnya saya tidak mengetahui siapa yang menulisnya (karena tidak mencantumkan identitas penulis), ada beberapa pendekatan dalam service recovery ini, diantaranya :

1. The case by case approach

Sesuai namanya, pendekatan dilakukan dengan melihat kondisi permasalahannya secara kasus per kasus, dimana cara dan tindakan apa yang harus diambil sangat spesifik tergantung pada jenis masalah, siapa kastamernya, bahkan hitung-hitungan ekonomis alias pertimbangan keuntungan apa yang didapatkan Lab disesuaikan dengan effort yang dikeluarkan.

Pendekatan ini disebut-sebut memiliki potensi munculnya rasa ketidak-adilan di antara para kastamer, tetapi mungkin ini kecil potensinya dalam layanan kalibrasi karena sangat bervariasinya alat ukur yang diorderkan oleh kastamer. Pendekatan pada kastamer A tidak akan mudah diketahui oleh kastamer B.

2. The systematic response approach

Pendekatan ini memerlukan suatu pemikiran dan kegiatan yang sistematis terhadap kegagalan yang terjadi dalam melayani kastamer. Apa yang menyebabkannya, dan bagaimana melakukan antisipasinya menggunakan resource yang ada. Aspek perencanaan menjadi titik sentral, dan mungkin diperlukan evaluasi pada akhir kegiatan penyelesaian perbaikan.

3. An early intervention approach

Ini mirip-mirip dengan preventif action, dimana perbaikan dilakukan sebelum masalah benar-benar muncul. Ketika mendapatkan alat ukur yang sudah rentan rusak, misalnya jarumnya sudah ringkih, perlu kehati-hatian ekstra dan sebaiknya melakukan koordinasi dengan kastamer untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kastamer mengklaim bahwa alat ukurnya rusak setelah dilakukan kalibrasi, padahal dari awal masuk ke Lab sudah dalam kondisi “rentan”.

4. Substitute service

Untuk pendekatan ini dibutuhkan kegiatan intel informasi kegagalan atau kelemahan Lab kalibrasi yang berposisi sebagai kompetitor. Dibutuhkan kemampuan ekstra untuk hal ini, namun hasilnya akan sangat baik bagi lab jika berhasil memberi service yang mengatasi kelemahan kompetitor tersebut. Misalnya jika pesaing hanya melakukan kalibrasi untuk parameter dasar, maka kita bisa tawarkan service dengan lebih banyak parameter yang dikalibrasi. Tentu saja tidak semata-mata soal jumlah, karena belum tentu pengecekan parameter itu diperlukan oleh kastamer.

image

Namun demikian catatan harian saya membuktikan bahwa semua pendekatan di atas memerlukan tool yang namanya komunikasi. Di sinilah peran teknisi dan engineer untuk turut pula mendukungnya, karena saat ini kastamer tidak hanya memerlukan data dan angka saja, tapi sering juga memerlukan penjelasan dari data dan angka tersebut. Sudah selayaknya seorang technical manager atau operational manager memposisikan dirinya juga sebagai service manager.

System skills yang tercipta dari unsur-unsur pembentuk sistem mutu dan kemampuan teknis yang memadai tidaklah cukup, dibutuhkan perubahan paradigma dimana system skills cenderung berubah menjadi listening skills, karena sering terjadi kastamer hanya minta “didengarkan” saja masalahnya. Ini pernah terjadi saat Lab saya tidak mampu berbuat apa-apa terhadap alat ukur yang tidak lagi bisa diperbaiki lagi, walaupun sudah dilakukan kegiatan adjusment bahkan repair. Ketika itulah semua usaha kita ceritakan kepada kastamer dan di sinilah listening skill dibutuhkan.

read more “Service Recovery”

Apa untungnya Model Tekno-ekonomi untuk Bisnis Kalibrasi

0 komentar Senin, 23 Maret 2009

Pendekatan Model tekno-ekonomi sangat sering digunakan untuk mempersiapkan suatu produk layanan yang akan dipasarkan. Tafsiran mudah dari model ini adalah bagaimana menganalisa kesiapan teknis dan kelayakan ekonomi suatu produk.

Sepintas Model Tekno-ekonomi ini memperbaiki pemahaman feasibility study alias studi kelayakan yang biasanya dibuat sebelum suatu kegiatan ekonomis dilakukan. Tapi kalau kita pelajari agak mendalam, ternyata feasibility study sangat komprehensif dalam menilai semua aspek kesiapan suatu program atau produk, dari aspek teknis, keuangan, kesiapan SDM, analisa lokasi, kesiapan knowledge, dan lain-lain. Jadi sebenarnya, menurut saya, model tekno-ekonomi justru adalah sebagian kecil saja dari feasibility study.

Namun demikian dalam suatu analisa kelayakan suatu proyek atau produk, terutama yang berada di lingkup teknologi, model tekno-ekonomi sebenarnya sudah cukup baik untuk membuat suatu bahan pertimbangan pengambilan keputusan, apakah proyek atau produk tersebut akan diluncurkan dengan skema yang sudah disiapkan, ataukah tidak. Berbagai pertimbangan di luar scope teknik dan ekonomi tentu saja masih bisa menjadi bahan pertimbangan lain. Tentu ini sangat tergantung pada gaya dan kebijakan manajemen yang berkuasa melakukan pengambilan keputusan tersebut.

Dikaitkan dengan bisnis kalibrasi, pertanyaan besarnya adalah apakah konsep model tekno-ekonomi ini perlu diimplementasikan ? Jika iya, kapan waktu yang tepat melakukannya, dan akhirnya bagaimana melakukannya? Apakah ini bukan kegiatan sia-sia alias tidak ada gunanya ?

Jawabannya sebenarnya tidak jauh dari pertanyaan apakah suatu feasibility study perlu dilakukan atau tidak. Dan itu tergantung kepada kebutuhan, misalnya jika kita ingin mengetahui seberapa besar nilai ekonomis dari bisnis kalibrasi yang kita lakukan. Atau misalnya kita suatu saat ingin mengetahui seberapa besar dampak pilihan teknologi yang kita implementasikan terhadap nilai ekonominya. Atau jika diinginkan analisa komprehensif tentang mutu layanan kalibrasi, dimana hal ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana reliability pengukuran yang digunakan, tidak bisa dilepaskan dari keakuratan perhitungan ketidakpastian, parameter-parameter pengukuran yang mampu diproses sesuai dengan availibility perangkat standar atau calibrator yang dimiliki, dan lain-lain. Atau jika kita ingin mengetahui dampak kebijakan baru dari manajemen perusahaan induk terhadap bisnis kalibrasi yang menjadi salah satu cabang bisnisnya. Dan puluhan alasan lainnya yang dapat dijadikan argumen untuk membuat feasibility study.

Contoh dalam kasus saya, dimana sampai saat ini memang belum pernah dibuat suatu analisa ekonomis komprehensif yang dikaitkan dengan berbagai aspek teknologi yang diimplementasikan di Lab. Seberapa besar dampak pilihan Rubidium Frequency Standard sebagai pilihan sumber frekuensi tertingggi, bagaimana dampak besar Best Measurement Capability (BMC) terhadap revenue Lab, dan akhirnya seberapa besar berbagai parameter teknis, ekonomis dan mix keduanya terhadap NPV Lab Kalibrasi untuk rentang waktu tertentu.

Layanan Kalibrasi saya saat ini menghadapi tantangan baru, yaitu dalam perubahan peta peran untuk mendukung program-program baru perusahaan induk yang kebetulan adalah suatu operator Telekomunikasi menuju Next Generation Network (NGN), sekaligus perubahan posisi market share akibat kompetisi dari sesama provider jasa kalibrasi.

Terbayang dalam benak saya nantinya perlu ada penambahan perangkat-perangkat baru, metode baru yang menyertainya dan pembaruan kemampuan para teknisi kalibrasi untuk mengantisipasi itu semua. Terbayang juga mungkin ada permintaan khusus dari manajemen perusahaan induk saya yang mengharuskan para teknisi kalibrasi untuk lebih concern kepada dukungan persiapan menuju ke NGN, dimana sebagian alat ukur pendukungnya mungkin sudah berbentuk agent, terintegrasi dengan OSS yang ada di NGN. Terbayang oleh saya bagaimana skema manajemen yang harus dibuat oleh para manajer Lab Kalibrasi untuk bisa memberdayakan semua resourcenya dengan dua tujuan, yaitu yag pertama untuk tujuan “sosial” dalam mendukung misi perusahaan induk, dengan cara memberi layanan kalibrasi dan bantuan teknis dalam pengukuran untuk para teknisi operasional di lapangan yang menyediakan dan memelihara infrastruktur perusahaan induk dalam peran sebagai operator telekomunikasi. Sedangkan tujuan kedua adalah sebagai profit centre, yang memaksimalkan seluruh resource untuk dapat menghasilkan revenue, persis sama dengan beberapa lab kalibrasi komersial lainnya.

Atau barangkali perlu ada kegiatan penambahan added value produk yang sudah ongoing selama ini. Atau mungkin ada cabang usaha lain yang masih di seputar alat ukur yang dapat dibuat sebagai mesin uang, misalnya layanan uji fungsi, konsultasi teknis dan manajemen, sewa perangkat dan process control. Konsekuensi dari adanya layanan baru ini, diperlukan investasi perangkat baru, perbaikan pada beberapa bagian proses bisnis, peningkatan kemampuan SDM, perubahan pricing, dan penerapan metode-metode statistik baru. Namun demikian konsep ini tetap harus dapat comply dengan regulasi kalibrasi dan berada dalam batas aturan konsep metrologi yang berlaku, yang diatur dalam ISO/IEC 17025, aturan-aturan khusus Badan Akreditasi, yang dalam kasus Lab saya badan ini adalah Komite Akreditasi Nasional dan sistem mutu Lab Kalibrasi itu sendiri.

Suatu saat nanti saya ingin membuat suatu kajian tekno-ekonomi kemungkinan implementasi konsep-konsep tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang berdampak pada bisnis layanan kalibrasi di lab saya yaitu framework e-TOM, roadmap to NGN, infrastruktur eksisting, kemampuan SDM eksisting, kondisi lingkungan, metode kalibrasi, dan regulasi. Kemudian berangkat dari sini dibuatlah analisa kelayakan ekonominya berbasis model tekno ekonomi, misalnya model bottom-up.

Gambar model tekno-ekonomi jaringan Wimax, sumber : COMPETITIVE POTENTIAL OF WIMAX IN THE BROADBAND ACCESS MARKET: A TECHNO-ECONOMIC ANALYSIS, Timo Smura, Helsinki University of Technology, Networking Laboratory.

Lihat model pada gambar diatas, yang merupakan salah satu contoh model tekno-ekonomi dalam analisa jaringan WiMAX. Model ini hanya contoh saja, untuk dapat diadaptasi ke dalam model bisnis kalibrasi.

clip_image002

Jika mencoba “mentah-mentah” menyadurnya ke dalam bisnis kalibrasi, maka dibutuhkan informasi-informasi sebagai berikut :

1. Jumlah kastamer, yang ditentukan dari jumlah market share, ukuran pasar, dan penetrasi layanan. Market share sendiri ditentukan oleh tingkat persaingan, penetrasi layanan, dan churn rate.

2. Tarif layanan kalibrasi

3. Demand kapasitas layanan, yang ditentukan oleh jumlah kastamer, demand trafik, faktor overbooking.

4. Kapasitas teknis perangkat, yang ditentukan oleh metode kalibrasi, spesifikasi perangkat, kecepatan layanan yang dilakukan teknisi.

5. Demand jumlah perangkat, yang dipengaruhi oleh hasil perhitungan demand kapasitas layanan hasil perhitungan sebelumnya, ditambah dengan ukuran geografi, dan kapasitas teknis perangkat. Jadi demand jumlah perangkat ini harus melihat besar kebutuhan pasar, kemampuan perangkat, dan ukuran geografi. Catatan untuk ukuran geografi ini mungkin tidak perlu dimasukkan jika Lab Kalibrasi anda tidak sering melakukan kalibtasi on-site. Untuk kasus Lab saya, ini harus dimasukkan karena selalu saja sepanjang tahun ada layanan kalibrasi keluar keliling ke kantor-kantor cabang suatu perusahaan kastamer. Dalam suatu proyek, kami sering membuat beberapa tim dimana setiap tim memiliki perangkat yang sama. Ini mengakibatkan Lab kami harus memiliki perangkat sejenis lebih dari satu.

6. CAPEX, yang besarnya ditentukan oleh demand jumlah perangkat dan harga perangkat.

7. Revenue, ditentukan oleh tarif layanan kalibrasi dan jumlah kastamer.

8. Akhirnya didapatkan hasil hitungan ekonomi, yang ditentukan oleh pendapatan (Revenue), OPEX, CAPEX, Periode studi, Discount Rate. Periode studi biasanya lima tahun, tapi ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan sikon. Sedangkan besaran discount rate terkait dengan nilai uang yang berbeda pada waktu yang berbeda.

clip_image004

Itulah gambaran dalam pembahasan tentang kemungkinan kajian tekno-ekonomi di Lab kalibrasi dimana saya bekerja. Mungkin anda memiliki alasan lain untuk melakukan hal yang sama. Dan saya rasa kajian tekno ekonomi ini jangan dianggap suatu hal yang super rumit, kecuali jika dibuat sebagai judul suatu paper ilmiah di perguruan tinggi, dimana alasan-alasan praktis sering tidak mendapat tempat. Satu contoh tentang data demand suatu produk, kalau kita mengambilnya dari contoh yang terjadi di negara lain, sering hal ini dipermasalahkan dengan alasan demand yang ada di negara lain tidak bisa berlaku di Indonesia. Mungkin kita harus melakukan survey atau penelitian di lapangan untuk dapat mengetahui demand sebenarnya. Nah, kalau ini dilakukan (itupun dengan catatan surveynya harus dilakukan berdasarkan suatu metode penelitian yang baku) maka angka demand baru dapat diterima secara akademis.

Namun demikian, ada kalanya pemikiran saya tentang signifakan tidaknya suatu analisa sejenis ini, apapun namanya, dan apapun metode ilmiah yang mendasarinya. Andaipun signifikan, seberapa besar tingkatnya? Jangan-jangan analisa yang sudah kita buat dengan mengerahkan pemikiran dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar ternyata tidak ada efeknya sama sekali bagi keberadaan bisnis kalibrasi kita. Hasilnya hanya menjadi sekedar tambahan wawasan saja.

clip_image006

Mungkin inilah yang perlu dikoreksi terlebih dulu. Bagaimanapun, sekecil apapun analisa nilai ekonomis suatu bisnis, pasti ada gunanya. Memang perlu ada perhatian lebih pada “how to” penulisan. Menurut saya tidak perlu terlalu detail, dan tidak perlu juga memasukkan berbagai macam teori yang tidak perlu. Makin sederhana suatu analisa dan semakin mudah dibaca oleh banyak orang dalam perusahaan kita, manfaat akan dapat dirasakan bersama. Tentu saja tentang bagaimana memanfaatkan dengan baik suatu hasil analisa, itu membutuhkan kecerrdasan tersendiri. Satu hal lagi, terlepas dari kualitas pengetahuan itu sendiri, pengetahuan yang sudah tertulis lebih memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan daripada hanya beku di dalam otak seseorang saja. Karenanya saya pribadi sangat mendukung manajemen perusahaan induk tempat saya bekerja yang kini memiliki kebijakan agar seluruh karyawan dapat benar-benar memanfaatkan facebook dan blog dalam mendukung kerja sehari-hari dan sebagai sarana marketing produk.

Akhirnya, next time akan saya coba bahas lebih dalam implementasi kajian tekno-ekonomi ini dalam lab kalibrasi.

read more “Apa untungnya Model Tekno-ekonomi untuk Bisnis Kalibrasi”

Penerapan Konsep Kaizen pada Lab Kalibrasi

2 komentar Selasa, 17 Maret 2009

Tulisan kali ini adalah tentang bagaimana implementasi konsep Continuous Improvement dalam Lab Kalibrasi. Sebenarnya hal ini bukan hal yang asing lagi, karena dalam ISO 17025, ataupun ISO 9000 sudah digariskan adanya kewajiban Lab dalam menjalankan improvement yang ujung-ujungnya tidak jauh-jauh dari soal bagaimana peningkatan kualitas layanan kepada kastamer, disamping tentunya peningkatan efisiensi dan efektivitas produksi.

Namun sebelumnya akan dibahas secara singkat saja beberapa konsep yang terkait dengan continuous improvement ini. Konsep-konsep itu antara lain Toyota Production System (TPS) atau istilah lain yang lebih terkenal adalah Just in time, Total Quality Control, Total Productive Management.

Sebagian bahasan, saya ambil materinya dari buku “Tantangan Industri Manufaktur, Penerapan Perbaikan Berkesinambungan”, karya Kiyoshi Suzaki.

image

(buku asli karya Kiyoshi Suzaki)

 

KAIZEN

Pernah mendengar istilah Kaizen ? Ya, itu adalah konsep perbaikan terus menerus dengan mellibatkan seluruh karyawan dalam perusahaan, dari mulai CEO sampai pekerja paling bawah. Dengan menerapkan prinsip ini, maka bisa tercipta lean manufacturing, pembrorosan dapat ditekan secara signifikan.

Sebenarnya Kaizen adalah filosofi bangsa Jepang yang meliputi semua aspek kehidupan. Mulai diterapkan bangsa ajaib ini saat masa recovery perang dunia dua, dan perusahaan yang mempelopori penerapan Kaizen ini pada waktu itu adalah Toyota.

Berbicara tentang Kaizen berarti bicara tentang improvement di semua aspek, oleh semua karyawan, setiap hari, perorangan maupun tim (kecil maupun besar). Dalam bahasa Inggris-nya dikenal sebagai continuous improvement.

Apa saja yang dilakukan pada kaizen ?

Merujuk pada siklus Kaizen, maka kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut :

1. Menstandarkan operasi

2. Mengukur operasi yang sudah distandarisadi (temykan waktu siklus dan jumlah barang pada inventory)

3. Buat pengukuran sesuai keperluan

4. Membuat inovasi untuk memenuhi persyaratan dan peningkatan produktivitas

5. Standarisasi operasi yang baru

6. Siklus kegiatan berkelanjutan tanpa batas

Siklus ini dikenal dengan nama Shewhart cycle, Deming cycle, atau PDCA (lihat gambar).

image

(Siklus PDCA, gambar diambil dari Wikipedia)

 

TOYOTA PRODUCTION SYSTEM (TPS)

TPS adalah sistem sosio-teknikal yang dikembangkan Toyota, yang mengatur proses dalam manufakturing dan logistik pada pabrik mobilnya, termasuk interaksi antara pemasok dan para kastamer. Bagaimana cara memproduksi hanya barang yang dibutuhkan, pada saat yang tepat dan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan.

TPS ini sebenarnya adalah adopsi dari “Just in Time Production”. Prinsip-prinsip TPS inilah nantinya melahirkan konsep The Toyota Way.

Tujuan TPS ini utamanya adalah untuk menghilangkan pemborosan yang terjadi pada semua aspek manufaktur. Apa itu pemborosan ? Mungkin banyak tafsirannya dan bisa disesuaikan dengan sikon kerja masing-masing. Sebagai pembanding, Toyota mendefinisikan pemborosan dengan kalimat sederhana namun sangat baik, yaitu “jika sesuatu tidak memberi nilai tambah, itulah pemborosan”.

Pemborosan yang dimaksud bisa bervariasi penyebabnya, antara lain :

1. Over produksi

Untuk manufaktur umumnya ini menjadi masalah, namun untuk kalibrasi rasanya masalah semacam ini muncul pada saat sertifikat yang sudah selesai dibuat terlalu menumpuk, atau perangkat UUT yang sudah dikalibrasi sudah mulai melebihi kapasitas inventory. Dibutuhkan space dan manajemen ruang ekstra untuk mengantisipasi kejadian tertukarnya dokumen atau pencarian dokumen atau perangkat yang lama akibat menumpuknya item tersebut.

2. Waktu menunggu

Ini sering menjadi masalah yang berada di bawah gunung es sehingga tidak nampak di permukaan. Dalam proses bisnis kalibrasi, umumnya memiliki tahapan secara berurutan dari mulai customer service, inventory, proses kalibrasi, perhitungan uncertainty, pemeriksaan kelengkapan datasheet, pengetikan sertifikat, approved signatory process, inventory, dan akhirnya kembali ke customer service lagi saat kastamer mengambil perangkat (UUT) nya kembali.

Prinsip dasar tiap titik-titik layanan ini adalah FIFO (First in first out), namun kenyataannya sering berbelok menjadi pola tak beraturan, apalagi untuk memenuhi permintaan kusus dari kastamer ataupun memenuhi permintaan manajemen dengan alasan tertentu. Bagi teknisi, FIFO ini sering dilanggar karena naluri alamiah manusia untuk “mendahulukan yang sederhana dulu, yang sulit atau kompleks dikerjakan belakangan”.

Hasil akhir dari pola demikian, akhirnya terkadang ada kastamer yang beruntung menerima layanan yang super cepat, sebaliknya ada juga kastamer yang “bernasib sial” menerima layanan yang super lambat.

3. Transportasi

Sempat terjadi dalam ruang workshop kalibrasi saya, manajemen memutuskan untuk membuat ruang kusus yang baru untuk inventory baik bagi perangkat kastamer yang masuk maupun yang siap dikembalikan kepada kastamer. Ruangnya memang lebih besar daripada inventory sebelumnya, namun ada kesalahan mendasar yaitu makin jauhnya jarak antara ruang proses kalibrasi dengan inventory.

Anehnya itu baru kami sadari waktu berjalan satu atau dua minggu. Jelas terasa saat mengangkat perangkat yang cukup berat antara inventory dan ruang proses kalibrasi. Dan ironisnya beberapa bulan kemudian manajemen memutuskan menutup rapat pintu keluar gedung yang berada dekat inventory dengan alasan keamanan, sehingga kini giliran jarak antara inventory dengan ruang customer service menjadi lebih panjang.

Sederhana saja masalahnya, waktu akan terbuang percuma hanya untuk transportasi yang sebenarnya bisa diatur menjadi lebih cepat.

4. Pemrosesan

Seringkali proses kalibrasi tertunda di tengah jalan karena salah satu calibrator atau perangkat standar yang digunakan sedang digunakan oleh teknisi lain. Tidak jarang suatu konektor yang dibutuhkan tidak ada di tempat karena terbawa oleh teknisi lain yang sedang melakukan kalibrasi on-site yang sengaja membawa konektor dengan jumlah berlebihan “hanya” sebagai cadangan, tanpa ada argumen kuat.

5. Tingkat Persediaan Barang

Ruangan Lab kalibrasi saya sebenarnya cukup ideal, tidak terlalu besar juga, tapi jadi terasa padat dengan perangkat. Setelah diadakan analisa ternyata ada sepertiganya yang hampir tidak pernah digunakan selama setahun belakangan ini. Mungkin hanya akan digunakan jika perangkat sejenis dipakai semua, misalnya untuk keperluan kalibrasi on-site, itupun ada beberapa perangkat standar yang jumlahnya lebih dari tiga bahkan empat untuk jenis yang sama.

6. Gerak

Ini “penyakit” yang sering muncul jika seorang teknisi tidak disiplin meletakkan perangkat ataupun toolkit sesuai dengan posisinya semula. Waktu terbuang “hanya” untuk mencari, mondar-mandir, kelihatan sibuk namun tidak produktif.

Kelihatannya sederhana, namun ini perlu diperhatikan dengan seksama, sesederhana kuncinya yaitu disiplin dan mau peduli.

7. Cacat produksi

Untuk kategori ini mungkin diperlukan proficiency testing antar teknisi, sekaligus melihat bagaimana mereka bekerja berdasarkan rambu-rambu prosedur mutu. Namun cara ini biasanya untuk ukuran Indonesia tidak efektif, karena saat test itu diadakan, semua teknisi cenderung akan berakting bak pemain sinetron, semua prosedur akan diikuti dengan sebaik-baiknya. Mungkin pengawasan ala orde baru yang disebut pengawasan melekat (waskat) bisa menjadi solusinya, dimana Manager Teknis atau teknisi senior mengawasi pekerjaan teknisi di bawahnya dalam kerja sehari-hari. Pengawasan yang dimaksud tentu bukan seperti seoranng mandor mengawasi kerja para tukangnya.

PENYEDERHANAAN, PENGGABUNGAN DAN PENGHAPUSAN

Ketiga kegiatan inilah, baik sendiri-sendiri maupun gabungan antar dua bahkan ketiganya, mampu memberikan solusi pada pemborosan dan potensi pemborosan yang diuraikan sebelumnya.

Meja kerja di ruang proses kalibrasi saya didisain mengelilingi ruang. Jadi jika saya berdiri di tengah ruangan, itu artinya saya dikelilingi meja-meja yang diatasnya berderet banyak perangkat standar. Jadi saya dapat leluasa melihat tampak depan semua perangkat yang dimiliki lab saya.

Kusus meja untuk unit under test (UUT) yaitu alat ukur kastamer yang siap dikalibrasi, sebagiannya diletakkan di meja dorong (meja yang diberi roda di kaki-kakinya), sehingga memudahkan untuk diputar-putar jika ingin melihat serial number, kondisi konektor power, pemasangan kabel GPIB, dan lain-lain.

 

image

(cotoh meja dorong, gambar dari http://www.russconstructionllc.com)

image

(contoh meja kerja)

 

Perlakuan yang sama juga kami terapkan untuk beberapa perangkat standar yang paling sering digunakan alias paling “mobile”, sehingga jika akan digunakan oleh teknisi lainnya tinggal mendorong mejanya, tidak perlu mengangkatnya.

Tapi sayangnya jarak antar meja-meja kerja tersebut dengan tembok ruang lab agak sempit, sehingga jika ada pemasangan kabel tertentu pada konektor yang kebetulan ada di bagian belakang perangkat standar, muncul kesulitan tersendiri, terutama bagi teknisi yang kebetulan berbadan besar atau gemuk.

Di ruang inventory juga perlu menataan, yang sebenarnya sederhana saja, namun cukup bermanfaat untuk kecepatan dan ketepatan dalam bekerja. Kelompokkan saja perangkat-perangkat yang ada di inventory berdasarkan kastamer pemiliknya, beri pita dengan warna yang sama, sehingga teknisi mudah mengenalinya. Kalau perlu ada plastik kusus yang diikatkan ke perangkat tersebut sebagai tempat kabel, card, konektor ataupun buku manual milik kastamer, berikut daftar barang milik kastamer. Mungkin agak repot di awalnya, namun akan jauh lebih sederhana di akhir proses.

TOTAL QUALITY CONTROL (TQC)

TQC adalah konsep pembangunan kualitas di bidang bisnis dengan mengerahkan semua orang dari segala organisasi perusahaan agar memenuhi kebutuhan kastamer. Perlu dianalisa apa sebenarnya kebutuhan kastamer dan jawaban dari pertanyaan inilah yang kemudian disinkronkan dengan spesifikasi produk atau layanan yang diberi.

Dalam TQC ini kita mengenal penerapan statistical quality control dan perbaikan kualitas (quality improvement). Sedangkan parameter kualitas pada produk bukan saja soal kualitas fisik saja, tapi juga mencakup dimensi, operasi, lingkungan, keselamatan, reliabilitas, dan kebutuhan pemeliharaan.

TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE (TPM)

TPM adalah konsep pemeliharan yang produktif, ditujukan untuk mencapai efektivitas menyeluruh dari sistem produksi melalui keterlibatan semua orang dalam organisasi. Singkat kata, tujuannya adalah “zero error, zero work-related accident, and zero loss”.

Dengan menerapkan TPM ini maka jumlah teknisi maintenance dapat dikurangi, salah satunya karena perangkat dilengkapi dengan kemampuan “autonomous maintenance” dan dimodifikasi agar reliability-nya semakin tinggi. Bahkan ada istilah pencegahan maintenance dan peningkatan maintenance (Maintenance prevention and Maintainability Improvement) yang mengindikasikan konsentrasi TPM dalam masalah pemeliharan bagi peningkatan produktivitas.

PERBAIKAN PROSES UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Ada 12 prinsip yang diajukan Kiyoshi Suzaki untuk perbaikan proses, yaitu :

1. Penataan tempat kerja

2. Pengembangan kecepatan set-up

3. Mengurangi kegiatan transport

4. Mengembangkan alat bantu otomatisasi

5. Penanganan beberapa proses

6. Sinkronisasi proses

7. Lot berukuran satu

8. Konsep Jidoka

9. Poke-Yoke, alat anti salah

10. Menghindari gangguan mesin

11. Penetapan cycle time

12. Standarisasi kerja

 

 

image

Gambar perbandingan layout jakur dan lintasan kerja operator

Cobalah bandingkan antara layout jalur formasu U dengan layout dengan formasi I atau L, mana kira-kira menurut anda yang paling dapat mengatasi pemborosan ? Tentu semua tergantung pada kondisi infrastruktur ruangan lab yang anda miliki. Namun secara teoritis, formasi U menjanjikan penghematan lintasan perjalanan operator dan benda kerjanya.

Hal lain yang dapat dilakukan dalam perbaikan proses adalah melakukan analisis proses produksi, baik dari kuantitasnya, rute proses kalibrasinya, kemungkinan melakukan grouping dan pengembangan ide-ide baru untuk perbaikan proses secara keseluruhan.

Contoh di lab kalibrasi saya, diantara tiga ribuan alat ukur yang kami layani setiap tahunnya, separuhnya adalah perangkat ukur kesehatan jaringan kabel tembaga yang biasa disebut sulim. Alat ini identik dengan multimeter biasa, namun terintegrasi (embedded) ke perangkat sentral dan MDF. Karena sifatnya yang sederhana, proses kalibrasinya pun hanya memerlukan waktu singkat saja (jika kondisi normal), data kalibrasinya sederhana, maka bisa digrouping untuk mendapatkan perlakuan kusus. Mungkin tidak perlu teknisi senior dalam melakukan kalibrasinya, sertifikat kalibrasinya pun bisa dibuat lebih sederhana dibandingkan sertifikat kalibrasi biasanya, pengetikannyapun bisa dilakukan oleh tenaga kusus agar tidak mengganggu kelancaran jalannya proses pembuatan sertifikat kalibrasi untuk alat ukur lainnya.

Untuk analisa kuantitas produk, bisa dilakukan dengan membuat resume statistik yang berisi prestasi kerja sampai periode tertentu, misalnya dari kastamer perusahaan X, lab sudah mendapatkan order berapa unit, berapa yang sudah terlayani sampai hari ini, berapa rupiah uang yang sudah atau akan didapatkan, berapa persen kinerja sampai hari ini dibandingkan target tahunan. Tambahkan gambar-gambar statistik yang mudah dibaca atau dimengerti oleh semua karyawan Lab Kalibrasi. Dengan demikian akan kelihatan kastamer mana yang perlu mendapat perlakuan esktra.

Untuk pendekatan dalam perbaikan proses, dalam dunia manufaktur dikenal isitilah metode Rabbit Chase (perburuan kelinci), arus poduksi two-piece, penggabungan dengan feeder line, dan beberapa konsep lain yang menurut hemat penulis mungkin kurang perlu diterapkan di lab kalibrasi. Mungkin perlu analisa lebih mendalam tentang kemungkinan pemanfaatannya pada mekanisme kerja di lab kalibrasi.

Pada prinsipnya usahakan untuk selalu bisa mengembangkan aliran produksi selancar mungkin. Salah satu caranya adalah jangan process-layout minded, tapi utamakan product layout.

Kemampuan mesin juga dapat diperbaiki dengan cara otomatisasi, baik hardware maupun softwarenya. Dalam perkembangan dunia instrumentasi, saat ini sudah tersedia aneka perangkat pendukung otomatisasi, misalnya penggunaan GPIB card, RS232 sampai VXI. Berdasarkan pengalaman di lab saya, membuktikan peningkatan dramatis proses kalibrasi memanfaatkan otomatisasi ini. Tentu saja biaya yang dibutuhkan harus disesuaikan dengan ramalan manfaat yang akan diperoleh, termasuk di dalamnya perlu dipikirkan kesiapan SDM yang nanti akan menanganinya.

 

MENGUATKAN SARAF DAN OTOT SISTEM PRODUKSI

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menerapkan kanzen pada sistem produksi, antara lain :

1. Jidoka (Otonomisasi)

Bayangkan jika proses kalibrasi dapat dilakukan oleh perangkat standar atau calibrator dengan hanya sedikit campur tangan teknisi kalibrasi, maka tenaga karyawan akan sangat dapat dihemat, dan bisa digunakan untuk melakukan hal lain. Jadi ada kecerdasan buatan yang dimasukkan ke perangkat.

Untuk melakukan hal ini, saya menyarankan penggunaan program kalibrasi memanfaatkan GPIB, RS232, Ethernet atau card-card lain yang tersedia pada perangkat. Dalam pengalaman selama di Lab, saya dan rekan-rekan teknisi sudah lama memanfaatkan GPIB dan hasilnya cukkup bermanfaat untuk menyingkat waktu kalibrasi. Untuk kalibrasi spectrum analyzer misalnya, yang tadinya membutuhkan waktu sampai 2 hari untuk sampai jadi sertifikat, ini cukup membutuhkan waktu dua jam saja. Tentu saja ada keterbatasan tertentu dimana software yang kami buat tersebut tidak mampu lagi melakukan tugasnya dengan baik, misalnya jika perangkat memang tidak dapat berfungsi dengan baik atau ada gangguan dengan komunikasi antar perangkat (misalnya GPIB card-nya bermasalah).

2. Andon (Lampu Peraga Gangguan)

Sistem Andon ini bisa dilakukan dengan menggunakan pita dengan warna tertentu yang dililitkan pada bagian perangkat, misalnya warna kuning jika sedari awal perangkat yang akan dikalibrasi sudah ada tanda-tanda abnormal, atau pita merah jika memang ada kerusakan. Dengan menggunakan pita ini, maka teknisi senior akan memberi perhatian lebih pada perangkat ini, untuk kemudian dengan segera “mengambil alih” untuk dianalisa lebih dalam lagi, apakah masih bisa dilakukan kalibrasi ataukah harus diperbaiki dulu. Judgment ini jangan ditunda lagi, segara dilakukan agar dapat dengan segera mengkomunikasinnya dengan kastamer pemilik perangkat.

Mungkin juga perlu ada catatan singkat di tag yang berisi tentang kondisi terakhir dan sedikit keterangan data hasil ukur, tanggal ukur, inisial teknisi. Ini terutama dilakukan jika analisa lanjutan pada perangkat tidak bisa dilakukan dengan segera.

3. Poka-Yoke (Alat Anti Salah)

Pernahkah anda melihat di suatu ruang workshop atau bengkel terdapat lemari tempat menyimpan toolkit (obeng, tang, kunci inggris, kabel) dimana di dinding lemari tersebut terdapat gambar-gambar atau “jejak” toolkit ? Maka jika kita akan menyimpan toolkit itu kembali, kita tinggal melihat gambar lalu meletakkannya persis pada gambar tersebut.

Analogi serupa dapat anda jumpai jika anda sedang membuat suatu perangkat elektronik (misalnya radio) dengan cara merangkai komponen-komponen PCB, dimana di PCB-nya sendiri sudah ada gambar-gambar komponen, sehingga kita dengan mudah menancapkan dan mensolder komponen dimaksud.

Itulah gambaran poka-yoke, suatu mekanisme sederhana yang bersifat “foolproof mechanisme”. Mekanisme ini mampu mengurangi berbagai masalah kecacatan dalam proses, keselamatan kerja, kesalahan operasi, dan lain-lain tanpa memerlukan perhatian berlebihan dari operator.

Jika di tempat kerja anda memiliki ratusan bahkan ribuan buku, poka-yoke ini juga bisa diterapkan untuk mempermudah anda mencari dan meletakkan buku pada posisi yang tepat, misalnya dengan membuat tanda berupa garis diagonal (lihat gambar) pada punggung buku, bisa dengan isolasi warna atau cat. Maka jika akan menyimpan suatu buku kembali, tinggal menyesuaikan tanda tersebut sesuai urutan garis dari yang paling rendah sampai ke palingtinggi. Cara ini umumnya lebih efisien waktu dibandingkan dengan menggunakan penomoran atau kode tertentu pada buku.

image

Harus ditekankan pada semua karyawan bahwa penting sekali untuk menjaga kualitas barang pada sumbernya, yaitu pada proses kerja, karena semakin lama penundaan dalam menemukan masalah, semakin mahal biaya penyembuhannya. Sangat logis kiranya melakukan pengendalian justru di tempat kerja, yaitu pada kegiatan proses mulai dari tahap terawal.

Dengan kata lain, proses “menemukan kesalahan” ini jangan dilakukan pada akhir produksi saja, atau bahkan sesaat sebelum perangkat diserahkan kembali kepada kastamer. Karena jika ini dilakukan akan muncul pemborosan resource. Bayangkan saja jika inspeksi hanya dilakukan setelah sertifikat kalibrasi selesai, misalnya baru disadari bahwa ada suatu rentang pengukuran yang belum dikalibrasi, maka teknisi terpaksa mengambil perangkat itu lagi dari gudang untuk diproses kembali, standar atau callibrator di-setup kembali, uncertainty mungkin perlu diedit, dan seterusnya.

4. Papan Kontrol Produksi

Pada Lab Kalibrasi, papan kontrol produksi ini dapat diwujudkan dalam suatu control sheet, yang biasanya menyertai suatu datasheet saat awal suatu proses kalibrasi dilakukan. Jadi setiap tahap perlakuan terhadap perangkat unit under test (UUT) dapat dilihat “sejarah”-nya pada control sheet ini, termasuk jika kita ingin mengetahui sampai dimana UUT tersebut diproses, oleh siapa dan ada kendala apa.

image

Dalam perkembangannya, papan kontrol ini bisa digantikan peranannya oleh software aplikasi proses bisnis, dimana semua tahapan proses dimasukkan dalam database. Tentu saja ini akan memberikan banyak keunggulan dibandingkan cara manual, dengan catatan perangkat pendukungnya (komputer, jaringan, database, server) memadai.

Dan itu pula yang digunakan oleh Lab Kalibrasi saya, dimana setiap ada perangkat UUT dari kastamer sudah resmi menjadi order, maka saat itu pula “timer” kegiatan proses bisnisnya sudah dimulai. Ketika petugas gudang memasukkannya ke dalam gudang, dia memasukkan data ke dalam aplikasi database tersebut. Ketika teknisi mulai melakukan proses kalibrasi, teknisi juga memasukkan informasi, demikian pula saat pekerjaan telah selesai. Demikian seterusnya sampai perangkat UUT diserahkan kembali kepada kastamer pemiliknya.

Dengan demikian, nantinya kita bisa memiliki data berapa rata-rata waktu layanan, ataupun sekedar tracking ketika ada complaint dari kastamer, tinggal melihat riwayat perlakuan perangkat UUT tersebut selama ada di Lab Kalibrasi. Jadi tidak perlu lagi bertanya kepada sesama rekan siapa yang melakukan kalibrasi perangkat UUT tersebut, cukup melihat datanya dari aplikasi database.

Dari aplikasi ini pula, seorang manager dapat memantau apakah suatu perangkat mendapat perlakuan sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan, utamanya dalam soal waktu layanan. Jika terlalu lama, misalnya melebihi rata-rata yang telah disepakati, maka manajer bisa melakukan perbaikan pada proses. Ini sebenarnya tidak lain adalah penerapan siklus PDCA (plan, do, check, action).

Tentu saja anda bisa menerapkan hal yang berbeda, dengan variasi yang tidak sama dengan apa yang sudah saya gambarkan ini. Tergantung pada sikon Lab anda, dan resource yang dimiliki. Mungkin tidak harus menggunakan aplikasi database jika UUT tidak banyak, karena dalam pengalaman selama ini penggunaan ICT kadang terhambat soal komitmen, bahkan budaya. Ada saja kejadian karena seorang teknisi malas memasukkan data, proses memasukkan data dilakukan saat puluhan perangkat UUT selesai dikalibrasi. Maka urutan produksi tidak lagi mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

5. Membangun Kualitas pada sumbernya

Mekanisme ini menggunakan kombinasi antara control chart dengan diagram fish / diagram sebab-akibat untuk mengenali pada aspek apa penyebab munculnya masalah, apakah pada manusia, mesin, metode, material.

image

(gambar contoh control chart)

image

(Tabel tipe-tipe chart – sumber : Wikipedia)

read more “Penerapan Konsep Kaizen pada Lab Kalibrasi”