Sinergi Lab Kalibrasi
5 komentar Jumat, 10 April 2009Selama puluhan tahun bergelut di bidang kalibrasi, sampai detik ini rasanya belum nampak sinergi yang baik antar laboratorium kalibrasi di Indonesia. Konsep jaringan nasional yang dibentuk atas inisiatif para petinggi di KAN – BSN ternyata belum memberikan banyak manfaat riil bagi para anggotanya.
Dalam lingkup kecil dan sporadis, Laboratorium tempat saya bekerja memang sempat mengadakan kerjasama dengan lab kalibrasi yang kebetulan memiliki bidang kerja yang berbeda. Lab saya berada di jalur elektrikal, sedangkan lab tandem tersebut berada di jalur mekanikal. Kerjasama ini cenderung mengarah ke kerjasama pemasaran. Sederhananya, jika ada calon kastamer membutuhkan kalibrasi alat ukur mekanik dan elektrik sekaligus kepada lab saya, maka staf marketing di lab saya berkewajiban merekomendasikan layanan kalibrasi mekanik kepada lab tandem. Dan sebaliknya juga begitu. Dan bisa saja suatu waktu kedua lab membentuk satu tim kalibrasi untuk kalibrasi on-site.
Walaupun ternyata tidak terlalu berhasil dalam realisasinya, kerjasama ini memberikan pengalaman dan pelajaran terutama bagi manajemen lab kalibrasi, ternyata tidak mudah juga untuk “berbagi” di dalam peta persaingan layanan kalibrasi komersial. Perlu ada prosedur yang jelas dan mungkin harus mengikat beberapa belah pihak untuk menjalankan peran sinergi yang disepakati, dan itu harus sudah dalam level operasional, tidak hanya di atas perjanjian kerjasama saja. Evaluasi secara periodik mungkin perlu dibuat untuk bisa menuangkan strategi-strategi lanjutan sesuai dengan apa yang sudah terjadi selama kurun waktu tertentu di lapangan, dan bahkan akhirnya menentukan tindakan berikutnya apakah kerjasama tersebut patut dilanjutkan atau dihentikan saja karena memang tidak memberi manfaat apa-apa.
Namun demikian untuk ukuran Indonesia, sering terlihat bahwa yang namanya kerjasama ini biasanya berhasil jika ada orang di kedua (atau beberapa) pihak yang betul-betul peduli, dan itupun biasanya atas dasar pertemanan. Jika saya memiliki teman yang bekerja di laboratorium “tandem” tersebut, kerjasama kedua lab cenderung bisa menghasilkan manfaat nyata, minimal komunikasi antar kedua lab berjalan (melalui link saya dan teman tersebut).
Masih mengenai kerjasama, biasanya lab kalibrasi sebenarnya juga memiliki kerjasama informal dengan beberapa vendor pemasok perangkat untuk Lab. Untuk kasus Lab tempat saya bekerja, kerjasama ini pada beberapa waktu lalu sempat membuahkan hasil yang cukup signifikan bagi lab karena ada sebagian kastamer yang melakukan order kalibrasi atas rekomendasi dari vendor pemasok tersebut. Jadi ketika vendor menjual alat ukurnya kepada kastamer X misalnya, ketika kastamer X membutuhkan kalibrasi untuk perangkat yang baru dibelinya tersebut, vendor akan mengajukan nama lab saya. Walaupun tidak terlalu sering, ketika membeli suatu alat ukur dari vendor, kastamer biasanya meminta alat ukur sudah dalam keadaan terkalibrasi. Ini juga digunakan oleh vendor sebagai bagian dari strategi packaging-nya, untuk memberi kesan “complete” untuk melengkapi dokumen-dokumen pada pengadaan alat ukur kastamernya.
Kerjasama antar lab dengan beberapa vendor ini terasa lebih bermanfaat daripada kerjasama formal yang pernah dibuat antar lab. Bahkan terkadang ada saja kastamer yang memberi order kalibrasi atas dasar rekomendasi dari kastamer lain yang sebelumnya pernah meng-order-kan kalibrasinya. Tentu ini kalau dilihat dari satu sisi saja, yaitu sisi ekonomi.
MANFAAT KERJASAMA ANTAR LAB
Pertanyaan besarnya adalah apakah tidak mungkin kerjasama antar lab kalibrasi dan lab uji di Indonesia memberikan manfaat nyata bagi para anggotanya ? Manfaat praktis dan nyata apa yang kira-kira dapat dipetik dan bagaimana cara untuuk mewujudkannya ? Apalagi dengan berkembangnya teknologi telekomunikasi saat ini sudah semakin memudahkan suatu komunitas untuk saling bertukar informasi, bahkan bisa lewat arena community di Internet seperti facebook atau friendster.
Gambar. Power of us (sumber : 5th Australasian Conference on Safety and Quality in Health Careco-hosted by AAQHC and the ACHS)
Sedikit membahas tentang Jaringan Nasional Laboratorium (JNL), ini merupakan gabungan antara jaringan nasional lan penguji dan jaringan nasional lab kalibrasi. Sifatnya nirlaba, non-pemerintah (BSN hanya sebagai fasilitator), independen.
Tujuan dari JNL ini, saya resume-kan dari tulisan Setyodewati tentang JNL pada tanggal 3 Desember 1998 pada lokakarya Lab Penguji dan Kalibrasi di Manggala Wanabakti, adalah sbb :
1. Meningkatkan mutu dan kepercayaan konsumen terhadap lab yang telah diakreditasi KAN – BSN.
2. Menjalin kerjasama antar lab dalam hal pelayanan, informasi, pelaksanaan uji profisiensi, pelatihan staf dan lain-lain.
3. Memberi umpan balik dalam penyempurnaan sistem pengawasan mutu.
4. Mengembangkan metode kalibrasi dan uji dengan cara bekerjasama antar lab dan mengembangkan standar nasional
5. Memberikan konsultasi masalah pengembangan lab kalibrasi dan uji di seluruh Indonesia
6. Memikirkan pengembangan lab di Indonesia untuk mendukung pengujian barang-barang ekspor di masing-masing daerah dan melakukan pengecekan terhadap barang-barang impor.
Ada beberapa hal yang menurut saya sangat perlu diperhatikan terkait tujuan ini, antara lain :
1. Sampai saat ini posisi konsumen agak lemah dalam layanan kalibrasi, karena pada fakta di lapangan konsumen dengan “terpaksa” (karena tidak ada pilihan lain) setuju saja dengan metode kalibrasi, kejujuran teknisi pelaksana kalibrasi dan kejujuran angka-angka yang ada pada sertifikat atau data hasil kalibrasi. Konsumen sering tidak bisa berbuat apa-apa karena memang knowledge dan “kekuasaan” dalam hal teknis kalibrasi ada di pihak lab, walaupun sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan konsumen untuk dapat sedikit memperkecil gap ini, yaitu dengan mengadakan audit kepada lab atau dengan selalu berkomunikasi dengan teknisi pelaksana kalibrasi secara langsung, bahkan sesekali bisa melihat langsung proses kalibrasinya. Tapi dalam kenyataannya, sebagian besar kastamer tidak melakukannya, sehingga ini membuat kondisi tersebut terjadi. Dalam hal kepantasan, keputusan untuk melakukan audit biasanya disesuaikan dengan jumlah order. Terbayang kastamer hanya order satu alat ukur yang tarif kalibrasinya Rp 1 juta, misalnya, tentu lab akan mempertimbangkan untuk menerima order ini jika kastamer mengajukan syarat audit terlebih dulu. Effort menjadi auditee tidak sebanding dengan nilai transaksi. Walaupun kastamer pada prinsipnya punya hak meminta, lab tentu juga punya hak menolak.
2. Antar lab memiliki interpretasi sendiri-sendiri terhadap mutu layanan. Parameter ini memang tidak mudah untuk distandarkan karena beragamnya variasi dalam proses kalibrasi yang dilakukan untuk satu alat yang sama sekalipun, misalnya dalam perbedaan metode kalibrasi yang digunakan, jumlah titik ukur per parameter, parameter apa saja yang diukur, jenis dan spesifikasi perangkat standar atau calibrator, dan lain-lain termasuk policy yang dianut oleh Lab.
Ada satu kasus dimana suatu lab kalibrasi rekan saya di Batam kalah dalam tender layanan kalibrasi dengan suatu provider layanan kalibrasi lainnya yang kebetulan berasal dari negeri seberang. Setelah dicermat, ternyata lab kompetitor tersebut melakukan kalibrasi hanya dengan jumlah titik ukur yang sangat minimal menurut ukuran kebiasaan lab umumnya. Sebagai contoh untuk Frequency Counter, kalibrasi hanya di titik referensi 10 MHz nya saja.
Sedangkan yang biasa dilakukan lab rekan saya adalah selain pemeriksaan parameter referensi frequency tersebut, dilakukan juga pengecekan “input sensitivity” dan “display frequency accuracy”, bahkan kadang dilengkapi dengan pengecekan filter, ratio, time interval, dan mungkin ada parameter atau feature unik lainnya. Pantas saja lab komptetitor tersebut mampu menawarkan harga yang jauh lebih kecil. Tentu saja Lab tersebut tidak bisa disalahkan, karena yang dilakukannya mungkin sudah mendapat persetujuan dari kastamer, dan mungkin saja kastamer hanya membutuhkan pengukuran yang demikian.
Entahlah, apakah keadaan ini dapat memunculkan persaingan yang tidak sehat. Dan nampaknya sebagian kastamer tidak terlalu mempedulikan bagaimana Lab melakukan kalibrasinya. Inilah yang harusnya menjadi pekerjaan rumah bersama antar KAN dan semua Lab yang berada dalam pengawasannya. Menurut hemat saya, kembalikan semua kepada kastamer, apa yang menjadi hak dan kepentingannya. Kastamer tidak bisa dipaksa-paksa untuk mendapat skema layanan terntentu. Yang penting adalah apakah kastamer telah mendapat haknya dengan baik, dan apakah Lab sudah menjalankan kewajibannya, sesuai dengan sistem mutu Lab itu sendiri dan garis-garis kebijakan yang telah ditetapkan oleh lembaga akreditasi.
Inilah yang sebenarnya bisa dipecahkan dengan cara mengefektifkan Jaringan Nasional Laboratorium. Mungkin ke depannya, untuk mengantisipasi kasus-kasus persaingan yang tidak sehat yag mungkin akan lebih pelik lagi, perlu dipikirkan pembentukan lembaga kode etik di dalam jaringan ini.
3. Ada gap yang masih menganga lebar antara Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) dengan Lab Kalibrasi. Contoh kasus di suatu divisi A yang mendapat sertifikat ISO 9000-nya dari LSSM X, diperkenankan hanya melakukan kalibrasi 20 % saja dari perangkat yang dimilikinya, namun kebijakan yang sama sama sekali tidak berlaku untuk divisi B yang mendapat sertifikat ISO 9000-nya dari LSSM Y, dimana dalam hal ini hampir semua alat ukur harus dikalibrasi. Sebagai catatan, divisi A dan B ada dalam satu perusahaan yang sama.
Tentu saja ada dalih bahwa kondisi kedua divisi berbeda, namun dalam kenyataannya tidak jauh berbeda. Atau mungkin saja karena sistem mutu kedua divisi didisain berbeda, sehingga yang “dijaminkan” oleh divisi A tidak sama dengan yang “dijaminkan” divisi B. Nampaknya interpretasi kedua LSSM ini berbeda, dan itu “dimanfaatkan” dengan baik oleh divisi A.
Mudah-mudahan implementasi ISO/IEC 17021:2006 sebagai persyaratan terbaru dalam pengelolaan lembaga sertifikasi bidang sistem mutu dan lingkungan dapat mengatasi permasalahan seperti kasus di atas. Ada baiknya juga KAN melakukan pengawasan secara berkelanjutan penerapan ISO pada perusahaan-perusahaan secara langsung di lapangan, tentu dengan skala prioritas tertentu, misalnya untuk perusahaan-perusahaan skala besar yang berorientasi eksport. Perlu ada analisa dampak implementasi ISO terhadap ekonomi perusahaan dan bahkan ekonomi nasional dan daerah.
4. Uji profisiensi dalam bentuk interlaboratory comparison harus lebih dintensiifkan, karena menjadi salah satu sarana bagi KAN untuk melihat variasi kompetensi antar Lab. Sistem pelaksanaannya sampai saat ini memang masih terkesan “kurang ketat”, dan evaluasi hasilnya juga belum bisa memberi masukan yang berarti, hanya sekedar sampai pada kesimpulan apakah suatu Lab “in spec” atau tidak. Padahal dimensi lainnya masih banyak yang harus dilihat atau diperdalam lagi. Namun untuk melakukannya, kendala klasiknya adalah soal dana atau anggaran yang terbatas.
Kalau kita merujuk ke negara-negara yang sudah maju dalam manajemen mutunya, di sana ada beberapa provider profisiency testing.
Gambar. Website MeasurePT
Provider ini memastikan kemampuan suatu Lab dalam melakukan kalibrasi. Misalnya untuk Lab Kalibrasi Elektrikal, untuk pengukuran kapasitansi. Provider akan melakukan validasi kemampuan suatu Lab dalam melakukan kalibrasi kapasitansi, pada suatu range frekuensi tertentu pada suatu kapasitor artifak yang disediakan oleh provider.
Provider profesional seperti inilah yang diharapkan hadir juga di Indonesia, entah dalam skema sebagai bagian dari suatu Lab kalibrasi yang sudah ada, atau suatu perusahaan swasta biasa. Namun dari pengamatan sejauh ini, perguruan tinggi di Indonesia bisa disulap menjadi provider proficiency testing, tentunya dengan bantuan pemerintah (KAN-BSN).
Dengan kehadiran Provider PT yang profesional, maka manfaat kerjasama antar Lab dalam bentuk program proficiency testing ini akan lebih nampak, karena provider ini akan menjaga kualitas artifak, realibilitas artifak, pacakaging dan pengirimannya, memiliki laboratorium rujukan (ref lab) yang kredibel, memiliki kemampuan metode analisa statistik yang handal, memiliki kemampuan memperkirakan Artifact Assigned Value Uncertainty, dan dapat memberi laporan yang berkualitas.
5. Perlu diingat bahwa sinergi antar Lab adalah soal manajemen, bukan soal teknis. Itu artinya, persoalan teknis jangan didahulukan sebagai persoalan utama dalam mewujudkan niat yang baik ini. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan negosiasi, koordinasi, dan kerjasama yang baik antar Lab, lembaga sertifikasi bahkan semua stakeholder terkait. Manfaatkan lebih luas dan lebih intens lagi kerjasama dengan organisasi dunia seperti APLAC. Dalam tingkat ASEAN, dulu sampai tahun 2004 ada skema ACCSQ (Asean Consultative Committee for Standards and Quality).
Gambar. Website ACCSQ
Gambar. Website APLAC
Mungkin ada baiknya kita sering-sering belajar dari negara-negara tetangga yang sudah lebih maju dalam mengelola resource jaringan nasional dan internasionalnya. Tidak usah terlalu jauh sampai ke Amerika, kita bisa contoh Hongkong dan Singapura. Mungkin saya tidak sempat meninjau secara keseleruhan seluruh aktivitas dan prestasi mereka, namun jika anda sempat meninjau semua informasi yang ada di website-nya, akan terasa berbedanya mereka dengan kita. Soal teknis, saya yakin kita tidak kalah, namun kalau soal sinergi, nah ini dia pekerjaan besar kita.
Gambar. Website SPRING
Gambar Website HKAS
File PDF : Sinergi Lab Kalibrasi |
REFERENSI
1. Dr. Sumardi, Bahan Acuan Standar dan Keabsahan Hasil Uji Laboratorium
2. Ir. Setyodewati, M. Eng, Jaringan Nasional Laboratorium, Desember 1998
Memahami Perilaku Kastamer Layanan Kalibrasi
0 komentarUntuk memahami perilaku kastamer layanan kalibrasi, mari kita lihat dulu teori di balik kegiatan pemahaman perilaku kastamer kita. Teori ini bisa membantu kita untuk memahami kastamer secara lebih sistematis lagi, walaupun tidak ada jaminan bahwa marketing layanan anda pasti akan lebih baik lagi, karena untuk hal ini tergantung bagaimana anda bisa mengelola informasi-informasi ini dengan baik untuk kemudian membuat strategi yang tepat.
Dalam teori model Perilaku Membeli, keputusan untuk membeli dimulai dengan stimulus, seperti bagan di bawah ini.
Dari bagan ini, mungkin ada beberapa pelajaran yang bisa diambil. Misalnya dalam soal stimulus, dimana pada bagan disebutkan dua stimulus, yaitu marketing dan lingkungan. Dulu saat ISO 9000 sedang booming di Indonesia, stimulus “Lingkungan” cukup mendorong calon pengguna jasa layanan kalibrasi, karena kalibrasi adalah salah satu kewaj iban sebagai pelaksanaan klausul ISO. Namun saat ini seiring dengan memudarnya kepopuleran ISO 9000 ini, maka stimulus ini sudah mulai kurang dapat diandalkan.
Karenanya kini anda hanya dapat berkonsentrasi pada stimulus lainnya yaitu stimulus “Marketing”. Contoh stimulus ini adalah promosi, kualitas dan penawaran yang baik. Itu artinya anda harus melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menambah nilai pada besaran-besaran ini. Lakukan promosi lebih gencar dan lebih cerdik lagi. Kekuatan ICT melalui Internet bisa anda jadikan alternatif untuk itu. Untuk penawaran, anda harus melakukan manajemen harga yang lebih flexible. Mungkin anda tidak harus menurunkan harga, tetapi bagaimana membuat kastamer puas dengan harga yang harus dibayarnya, dan untuk itu layanan yang diberikan harus dirasakan sepadan dengan harga yang harus dibayar. Dan untuk itu, salah satu hal yang harus menjadi concern berikutnya adalah kualitas. Bagaimana kualitas layanan kalibrasi anda ?
Faktor yang mempengaruhi perilaku kastamer adalah faktor budaya, sosial, personal dan psikologikal. Keempat faktor ini memiliki perbedaan kadar pengaruh pada perilaku kastamer. Mungkin ada diantara anda yang merasa pembahasan faktor ini tidak perlu, tapi percayalah bahwa bisa jadi kastamer meminta layanan kalibrasinya pada anda hanya karena keinginan seorang manajer logistiknya agar terlihat menonjol dan dikenal sebagai orang yang paham benar soal teknik maintenance di mata direkturnya.
Ada juga kasus dimana Lab Kalibrasi mendapatkan banyak order kalibrasi bukan dari prestasi divisi marketing-nya, tapi karena faktor sosial yaitu dengan adanya kelompok referensi (reference group). Ada juga kejadian tawaran layanan kalibrasi ditolak kastamer karena sang pimpinan memiliki persepsi bahwa layanan ini tidak ada manfaat riil-nya, dan ini adalah pembahasan dalam faktor psikologikal. Termasuk dalam pembicaraan faktor ini, ketika ada Lab Kalibrasi mengingatkan kastamer untuk melakukan kalibrasi ulang (biasa disebut program recall) karena masa kalibrasi yang sudah mendekati habis, ternyata kastamer tidak menanggapinya karena ada pengalaman pelayanan yang tidak mengenakkan saat layanan pada tahun sebelumnya.
Catatan : Pengaruh faktor psikologikal meliputi motivasi, persepsi, pengalaman / pembelajaran, keyakinan dan sikap.
Lihatlah betapa faktor persepsi juga berpengaruh terhadap perilaku pembeli. Mudah saja untuk menghubungkannya dengan operasional layanan sehari-hari. Anda harus memiliki customer service yang handal untuk memberi persepsi layanan yang baik. Anda harus membenahi ruang layanan dengan tata meja, kursi, komputer, TV yang baik. Mungkin anda harus menyiapkan skill tambahan pada para teknisi kalibrasi agar dapat menjelaskan hasil kalibrasi alat ukurnya dengan bahasa yang baik. Dan mungkin puluhan program lain yang dapat mengangkat tinggi-tinggi persepsi pelanggan.
PROSES KEPUTUSAN MEMBELI
Dalam teori pembelian, peran dalam membeli meliputi peran sebagai initiator, decider, influencer, user dan akhirnya buyer. Jangan sekali-kali meremehkan pengetahuan tentang aktor-aktor yang ada di balik order layanan kalibrasi. Percuma saja jika tim marketing anda melakukan pendekatan marketing pada orang yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap order layanan.
Temukenali siapa yang menjadi initiator, siapa yang menjadi decider, siapa yang menjadi influencer. Karena pendekatan antara aktor-aktor ini memang berbeda. Yang menjadi masalah adalah seorang tidak fix menjadi aktor tertentu saja, dan seseorang bisa jadi berperan ganda. Semua tergantung pada gaya manajemen masing-masing kastamer. Namun demikian alur umumnya dapat anda pegang. Teknisi pengguna alat ukur biasanya berperan sebagai influencer, sedangkan direktur teknik biasanya berperan sebagai decider, orang-orang yang berada di divisi mutu biasanya berperan sebagai initiator.
Untuk mengetahui semua aspek perilaku kastamer ini, perlu diadakan riset. Pendekatan riset ini bermacam-macam, antara lain :
1. Introspective Methods yaitu dengan melakukan wawancara kepada kastamer untuk melakukan evaluasi terhadap kebiasaan yang dilakukan
2. Retrospective Methods yaitu dengan melakukan wawancara terhadap kastamer mengenai tanggapannya atas suatu produk yang akan dijual
3. Prospective Methods yaitu dengan melakukan wawancara terhadap kastamer untuk mengetahui informasi tentang apa yang nanti akan dibeli
4. Prescriptive Methods yaitu dengan perilaku kastamer dipelajari melalui suatu model
Riset ini mungkin tidak perlu anda lakukan dengan budget tinggi, atau dengan membentuk suatu tim tertentu. Mungkin cukup dengan melakukan obrolan santai dengan para teknisi kastamer ketika anda mengantarkan alat ukur yang sudah dikalibrasi. Atau mungkin sesekali anda melakukan presentasi kepada divisi mutu di perusahaan kastamer. Atau sekedar via telepon antar manager anda dengan manager kastamer. Posisikan semua personel Lab menjadi “PR” bagi Lab, tidak hanya mengandalkan customer service yang biasanya tidak terlalu mengerti tentang teknis. Itu artinya para teknisi dan engineer juga harus mengetahui tentang proses bisnis dan manajemen tarif layanan, tidak hanya mengetahui tentang hal teknis semata, sehingga dapat menjawab dengan segera ketika kastamer bertanya tentang price setelah berdiskusi tentang aspek teknis kalibrasi.
Jangan lupa sesekali mengundang calon kastamer atau kastamer berkunjung ke Lab anda, baik dalam skema formal misalnya customer audit, maupun sekedar kunjungan informal. Mudah-mudahan perusahaan anda tidak keberatan sekedar mengeluarkan anggaran konsumsi untuk acara seperti ini. Dari pengamatan di lapangan selama ini, menurut saya skema ini jarang digunakan oleh Lab, malah sering dihindari karena dikawatirkan merepotkan personel Lab, atau dikawatirkan kastamer akan mencuri ilmu, atau dikawatirkan kastamer akan melihat kelemahan Lab. Tentu ini semua terserah pada kebijakan manajemen anda, tetapi saya pikir jika Lab dikelola dengan baik, hal-hal seperti ini rasanya tidak perlu dikawatirkan secara berlebihan.
Jadi ingat baik-baik bahwa proses keputusan untuk membeli, yang dalam kasus layanan kalibrasi identik dengan proses memberi order layanan kalibrasi, adalah hasil konstruksi psikologikal.
Karena itulah untuk menganalisa kastamer dalam keputusan “pembelian” ini, ada tiga model, yaitu :
1. Model ekonomi – Model ini cenderung mengarah kepada pembicaraan tentang kuantitas, pertimbangan rasional dan penggunaan pengetahuan. Pembeli ingin memaksimalkan utilitasnya.
2. Model psikologi – Model ini mengarah ke proses kognitif seperti motivasi dan kebutuhan pengakuan. Mode ini cenderung mengarah kepada aspek kualitas, lebih banyak dipengaruhi oleh kultur dan pengaruh teman dekat atau keluarga.
3. Model Consumer Behaviour (CB) – Model ini adalah irisan dari kedua model sebelumnya, dan banyak digunakan dalam prakteknya oleh para Marketer.
Catatan : Untuk melihat file pdf tulisan ini, silakan klik “Memahami Perilaku Kastamer Layanan Kalibrasi” |
|
Referensi
1. Agus Ahmad S, Identifikasi Peluang Bisnis Melalui Pemahaman Perilaku Konsumen, IT Telkom, 2009
2. Buyer Decission Process, http://en.wikipedia.org
Model-Model Manajemen Mutu untuk Layanan Kalibrasi (1/2)
0 komentar Senin, 06 April 2009Mungkin anda sudah tidak asing lagi dengan berbagai model manajemen kualitas. Kualitas memang sudah menjadi harga mati harus diperhatikan jika anda menginginkan produk anda, apapun bentuknya, berhasil di pasaran.
Rupanya jaman sudah menuntut hal-hal yang baru. Bukan hanya produk saja yang harus menjadi perhatian, namun juga perilaku para kastamer juga harus dipantau, agar jangan sampai kualitas produk yang sudah capek-capek dibuat ternyata memiliki level yang berbeda dengan level yang menjadi harapan kastamer.
Agustus tahun 2008 lalu ada seminar menarik dari PPM, dengan pembicaranya antara lain Pak James Indra W. Widyaharsana, ST, MM yang bertema Seminar Generation Marketing, yang diklaim akan memberikan perspektif yang lebih baik terhadap perilaku konsumen dari setiap generasi. Menarik, karena ternyata memang kebutuhan kualitas tiap generasi berbeda.
Di dalam Layanan Kalibrasi, sebenarnya tanpa disadari sudah menjalankan model manajemen kualitas ISO 9000, yang sebagiannya dimasukkan ke dalam beberapa klausul ISO 17025. Tapi bagaimanapun ISO 9000 tidaklah sama dengan ISO 17025, karena penekanannya memang berbeda, walaupun dalam framework proses di dalamnya sebagian besar serupa, misalnya dalam hal tingkatan dokumen mutu.
Dalam industri umumnya dikenal model manajemen mutu ISO 9000, Deming Prize Model, Malcolm Baldrige Award, European Foundation for Quality Management (EFQM), Six Sigma, Deming, Ishikawa, Feigenbaum, Crosby’s, dan lain-lain. Ini semua adalah model-model kelas dunia. Tidak diharamkan jika kita ingin membuat suatu model sendiri, karena bagaimanapun filosofi pembuatan sistem mutu antara model-model tersebut berbeda-beda. Pertimbangan-pertimbangan untuk memilih mana yang akan digunakan dalam suatu organisasi antara lain :
1. Mana yang sejalan dengan cara berfikir yang dianut organisasi ?
2. Bagaimana pendekatan yang digunakan ?
3. Konsep mana yang paling cocok atau sesuai dengan masalah yang dihadapi ?
4. Sumber daya apa saja yang dimiliki organisasi ?
5. Bagaimana langkah-langkah penerapan yang sesuai ?
6. Apa yang harus dilakukan agar konsep tersebut bisa berjalan efektif ?
7. Mana yang paling populer atau paling banyak digunakan di lingkungan sendiri ?
ISO 9000
Jika tidak ada kewajiban menggunakan ISO 17025, menurut saya mungkin memang paltform ISO lah yang paling cocok untuk digunakan untuk Lab Kalibrasi dan industri-industri pada umumnya di Indonesia. Alasannya karena konsep ini yang paling dikenal perusahaan-perusahaan di Indonesia, merupakan konsep standar internasional yang tertua, dan paling populer di dunia.
Dalam ISO 9000 versi 2000, ada delapan prinsip manajemen yang diatur di dalamnya, yaitu Customer focus, Leadership, Involvement of people, Process approach, System approach to management, Continual improvement, Factual approach to decision making, Mutually benefit supplier relationship. Nanti akan kita lihat bersama kesamaan prinsip ini dengan konsep model-model sistem mutu lainnya.
Gambar. Model Quality Management System ISO 9001 : 2000 (sumber : Australian/New Zealand Standard Quality management systems ISO 9000:2000 — Fundamentals and vocabulary)
Gambar. PDCA dan ISO 9000 untuk continuous improvement (sumber : Ivan Mencer, ISO 9001:2000 Protocol of Standards)
Pada gambar di atas, kegiatan improvement terus dilakukan menggunakan roda PDCA, dan setiap roda PDCA digulirkan maka roda diganjal oleh standarisasi ISO 9000, kemudian roda diputar lagi untuk kemudian diganjal lagi dengan ISO.
Struktur ISO 9001 : 2000 adalah sebagai berikut :
4 Quality Management System
4.1 General requirements
4.2 Quality manual
4.2.3 Control of documents (obligatory requirement)
4.2.4 Control of records (obligatory requirement)
5 Management responsibility
5.1 Management commitment
5.2 Customer focus
5.3 Quality policy
5.4 Planning
5.4.1 Quality objectives
5.4.2. Quality management system planning
5.5 Responsibility and authority
5.5.2 Management representative
5.5.3 Internal communication
5.6 Management review
5.6.1 General
5.6.2 Review input
5.6.3 Review output
6 Resources management
6.1 Provision of resources
6.2 Human resources
6.2.1 General
6.2.2 Competence, awareness and training
6.3 Infrastructure
6.4 Work environment
7 Product realization
7.1 Planning of realization processes
7.2. Customer related processes
7.2.1 Determination of requirement related to the product
7.2.2 Review of requirements related to the product
7.2.3 Customer communication
7.3.Design and development planning
7.3.1 Design and development planning
7.3.2 Design and development inputs
7.3.3 Design and development outputs
7.3.4 Design and development review
7.3.5 Design and development verification
7.3.6 Design and development validation
7.3.7 Control of design and development changes
7.4 Purchasing
7.4.1 Purchasing process
7.4.2 Purchasing information
7.4.3 Verification of purchased product
7.5 Production and service provision
7.5.1 Control of production and service provision
7.5.2 Validation of processes for production and service provision
7.5.3 Identification and traceability
7.5.4 Customer property
7.5.5 Preservation of product
7.6 Control of monitoring and measuring devices
8 Measurement, analysis and improvement
8.1 General
8.2 Monitoring and measurement
8.2.1 Customer satisfaction
8.2.2 Internal audit (obligatory requirement )
8.2.3 Monitoring and measurement of processes
8.2.4 Monitoring and measurement of product
8.3 Control of non conforming product(obligatory requirement) 8.4 Analysis of data
8.5. Improvement
8.5.1 Continual improvement
8.5.2 Corrective action (obligatory requirement )
8.5.3 Prevention action (obligatory requirement )
MALCOLM BALDRIGE
Baldrige Award, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan oleh presiden USA kepada organisasi, baik yang bergerak dalam bidang bisnis, pendidikan ataupun kesehatan, yang telah memenuhi syarat dalam 7 kriteria. Penyerahan penghargaan ini dilakukans sejak tahun 1987, dengan fasilitator NIST (National Institute of Standards and Technology)
Kriteria-kriteria tersebut dikelompokkan dalam tujuh kategori, yaitu :
1. Leadership
Eksekutif senior harus mengarahkan organisasi, dan bagaimana organisasi menjalankan tanggung jawabnya kepada publik dan berperan sebagai penduduk yang baik.
2. Strategic Planning
Organisasi harus sudah membuat arah strategi dan sudah menentukan key action plan.
3. Customer and Market Focus
Organisasi harus memutuskan kebutuhan serta ekspektasi pasar dan pelanggan, membangun hubungan yang baik dengan pelanggan, memuaskan dan menjaga pelanggan.
4. Measurement, analysis, and knowledge management
Memeriksa manajemen, efektivitas penggunaan, analisis, perbaikan data dan informasi untuk mendukung proses-proses kunci dalam organisasi dan kinerja sistem manajemen organisasi.
5. Human Resource Focus
Memeriksa apakah organisasi membangun potensi dan kemampuan karyawannya sesuai dengan tujuan organisasi.
6. Process Management
Bagaimana organisasi anda mendisain, mengelola dan melakukan perbaikan pada produksi, delivery dan proses-proses lainnya yang terkait ?
7. Business Results
Bagaimana kinerja organisasi anda dan pengembangan area bisnis kuncinya yang meliputi kepuasan pelanggan, keuangan dan kinerja pemasaran, sumber daya manusia, supplier dan kinerja para partner kerja, serta kinerja operasional ? Dan bagaimana juga organisasi melakukannya dibandingkan dengan para pesaingnya ?
Rasanya pantas kalau saya sebut Malcolm Baldrige ini adalah model kualitas mutu “sapu jagad”. Rasanya semua kriteria harus diperhatikan. Menjadi masalah besar jika kita tidak memeliki resource yang cukup untuk bisa memperhatikan semuanya satu persatu.
Tapi ada saja yang akhirnya mendapat penghargaan tertinggi ini dari Presiden USA, dari tahun ke tahun. Tanggal 25 November 2008 lalu, saat Presiden USA masih George W. Bush, penghargaan tertinggi Malcolm Baldrige National Quality Award jatuh kepada : Cargill Corn Milling (CCM) untuk Manufacturing, Iredell-Statesville Schools untuk Pendidikan dan Poudre Valley Health System untuk bidang kesehatan.
Gambar. Website Cargill
Gambar. Website Iredell-Statesville Schools di http://iss.schoolwires.com/iss/site/default.asp
Pertanyaan besarnya adalah, apakah model Baldrige ini bisa diterapkan untuk bisnis Kalibrasi ? kenapa tidak, karena pada dasarnya bisnis kalibrasi tidak lebih dari sebuah bisnis biasa pada umumnya. Tidak harus melakukannya dengan target mendapat award. Ambil saja konsep bisnis dan metode-metode di dalamnya. Karena pada prinsipnya, nilai-nilai model sistem manajemen mutu bersifat universal, bisa digunakan dimana saja, kapan saja, meskipun tetap membutuhkan adjustment di sana-sini menyesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang ada.
Untuk melihat kemungkinan penerapan Malcolm ini secara formal, ada cara mudah yang bisa dilakukan yaitu dengan melihat pemetaan antara ISO 17025, ISO 9000 dan MBNQA. Contoh, ada pemetaan dari ISO 9000 ke dalam MBNQA framework seperti dapat dilihat pada gambar berikut.
Dalam ISO 17025:2005 yang dibuat oleh KAN, pada bagian Pendahuluan terdapat penjelasan bahwa “Lab Kalibrasi yang telah memenuhi ISO 17025 juga akan beroperasi sesuai dengan ISO 9001”. Dikatakan juga bahwa “mendemonstrasikan kesesuaian ke Standar internasional ISO 17025 tidak berarti bahwa sistem manajemen mutu yang dioperasikan oleh Lab memenuhi seluruh persyaratan ISO 9001”.
Dalam Lampiran juga bisa dilihat acuan silang antara ISO 9001 dengan ISO 17025. Ini artinya antara 17025 dengan Malcolm juga bisa dengan mudah dibuat acuan silangnya.
Namun demikian harus disadari terlebih dulu bahwa ISO 9000 jelas berbeda dengan Malcolm, dimana ISO 9000 adalah Quality Management System (QMS), sedangkan Malcolm adalah Business Management System (BMS). Artinya, Malcolm masuk dalam domain bisnis, sedangkan ISO masuk dalam domain kualitas, walaupun keduanya sama-sama berbicara banyak tentang kualitas. Visi keduanya tidak jauh dari bagaimana mengembangkan kualitas secara berkelanjutan.
Karena itu, jika menaikkan kualitas produk sejajar dengan perusahaan-perusahaan kelas dunia, MBNQA bisa diadop. Tentu saja effort nya tidak kecil, karena kini kita tidak sekedar melakukan kegiatan untuk mempertahankan standar mutu yang bisa kita buat sendiri, namun kini standar mutunya sudah berkelas dunia. Dengan melihat suatu score sebagai hasil penilaian MBNQA secara keseluruhan, maka kita bisa bandingkan dengan berapa score yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia itu.
Dalam perkembangannya, MBNQA ini terus mengalami updating baik dalam proses penilaian maupun konsepnya sendiri. Jadi bisa saja kriteria Malcolm dan penekanannya untuk tahun ini berbeda dengan tahun lalu, seperti contoh pada gambar berikut yaitu framework kriteria Excellence untuk bisnis non profit pada tahun 2009, yang merupakan hasil revisi dari framework sebelumnya (tidak diperlihatkan di sini).
Gambar. Kriteria 2009-2010 Malcolm Baldrige (sumber http://www.baldrige21.com)
Dari buku Wayne C Turner dalam Introduction to Industrial and Systems Engineering, ada beberapa konsep kualitas berdasarkan kriteria MBNQA dan perkembangan kualitas dewasa ini. Mari kita coba untuk menggunakannya untuk menganalisa layanan kalibrasi.
1. Kualitas ditentukan oleh konsumen
Perlu ada kesadaran dari semua personel Lab, terutama manajemen, bahwa konsumen bisa mengalami perubahan keinginan dan persyaratan untuk dapat dipuaskan dalam layanan yang diberikan. Jangan terlalu melihat proses bisnis sebagai sesuatu yang harus ditingkatkan, tapi cobalah untuk selalu mulai dari depan, untuk kemudian mundur ke belakang. Lalu lihat proses mana saja yang harus diperbaiki dan ditingkatkan.
Ada kasus dimana suatu Lab Kalibrasi menginvestasikan sebagain anggarannya untuk sebuah perangkat kalibrasi otomatis. Harganya mencapai ratusan juta, termasuk pelatihan yang diadakan di luar negeri. Namun akhirnya yang terjadi adalah kemubaziran, dimana akhirnya perangkat tidak dapat digunakan sebagaimana harapan awal. Terjadi banyak kesulitan teknis di lapangan, karena memang requirement dari kalibrasi menggunakan perangkat ini tidak dapat dipenuhi oleh Lab. Dan satu hal yang jauh lebih penting dari itu adalah apa yang didapat oleh kastamer Lab ini dari program investasi tersebut, yang ternyata kecil. Satu-satunya manfaat yang didapat adalah teknisi menjadi lebih pintar dan berpengalaman dalam penggunaan perangkat kalibrasi otomatis.
Di Lab lainnya lagi sempat terdengar ada rencana untuk memanfaatkan ICT dalam proses kalibrasi dari mulai administrasi order layanan kalibrasi sampai pembayaran, yang semuanya dipusatkan pada suatu aplikasi client-server dengan satu database besar yang dipusatkan di kantor pusat. Jadi pembuatan datasheet, perhitungan ketidakpastian, sampai detail informasi terkait proses bisnis lainnya ada di dalamnya. Awalnya mungkin ada harapan agar sistem online ini mampu melakukan monitoring secara lebih cepat dan tepat, namun pada awal penerapannya sudah terganjal lambatnya jaringan ICT yang digunakan, yag mengakibatkan segala proses menjadi lambat, bahkan jauh lebih lambat dari cara manual sebelumnya.
Alasan logis yang diberikan manajemen adalah aplikasi ini masih dalam tahap awal pengembangan, mungkin dibutuhkan beberapa tahapan lagi sampai mendekati sempurna. Namun terlepas dari janji manajemen ini, pertanyaan pentingnya adalah apakah ini signifikan mampu membuat kastamer menjadi lebih puas dalam soal layanan ?
2. Kepemimpinan menentukan kualitas
Adakah manager Lab anda atau pejabat yang lebih tinggi berani memberi target atau tujuan yang spesifik, jelas, lengkap dengan metode-metode ukur dan cara mencapai tujuan tersebut ? Biasanya hal ini dihindari dan jarang ada yang berani membuat statement terukur seperti itu di dalam dokumen mutu, yang biasanya ada dalam tujuan mutu. Misalnya “Untuk alat ukur dengan hasil kalibrasi in spec, Lab X memberi jaminan maksimal 10 hari layanan sudah selesai, termasuk sertifikat kalibrasinya”. Mengapa kita tidak terbiasa berani memberi target untuk kita sendiri ?
3. Sistem dan proses yang dioptimalkan
Apakah metode kalibrasi yang selama ini anda pakai benar-benar “benar” ? Seberapa sering tim anda melakukan validasi metode untuk itu ? Apakah nilai ketidakpastian kalibrator yang ada di sertifikat sudah sesuai dengan kenyataan ?
Ternyata ada banyak pekerjaan bagi seorang engineer kalibrasi, bahkan para teknisi biasa sekalipun. Ada kasus dimana suatu Lab melakukan drift monitoring dengan metode yang kurang tepat, yang berakibat lambat terdeteksinya error pada kalibrator atau perangkat standar.
4. Pengurangan response time
Lab yang mampu memperpendek siklus concept-design-build-deliver, maka response time secara keseluruhan akan semakin pendek. Salah satu kunci utamanya adalah penyederhanaan (simplify) proses-proses yang ada. Dan tidak seperti diduga sebagian orang, penyederhanaan proses justru akan mendorong peningkatan kualitas.
5. Pengembangan berkelanjutan
Ada banyak hal yang dilakukan untuk pengembangan berkelanjutan ini, antara lain :
a. Mengambil hati kastamer dengan memberi value added dan keistimewaan lainnya pada hasil layanan
b. Mengurangi kesalahan-kesalahan, baik dalam administrasi, apalagi pengukuran. Naif sekali jika sampai sering tercetak error ratusan persen pada sertifikat kalibrasi hanya karena salah ketik.
c. Meningkatkan responsiveness dan cycle time performance
d. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas keseluruhan resource
6. Segala tindakan hanya berdasarkan fakta, data dan analisa
Seringkali muncul gap komunikasi antara personel pada level bawah dengan level atas (manajemen) pada suatu organisasi. Apapun alasannya, hal ini jelas sangat merugikan karena seseorang yang memiliki power untuk mengubah suatu proses ternyata tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak memiliki fakta dan data di lapangan, sebaliknya seseorang yang sudah memiliki banyak data justru juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki power atau wewenang.
Menjadi tugas middle-man untuk menjembatani kedua kelompok sumber daya manusia ini. Dalam Lab, yang termasuk middle-man ini adalah teknisi senior, engineer, manajer teknis, manajer mutu. Sarana komunikasi yang melimpah (email, telpon, sms, rapat, kotak saran, ngobrol, dll) tidak bisa berbuat banyak jika mekanisme komunikasi tidak jalan. Sehebat apapun anda sebagai manajer, tetap saja karyawan di lapangan yang lebih ahli (baca : paham) tentang informasi di lapangan. Ada baiknya untuk anda yang berposisi demikian untuk sering-sering meninggalkan kursi nyaman anda untuk terjun langsung ke lapangan, setidaknya sering terlibat dalam kegiatan di Lab Kalibrasi yang anda pimpin.
7. Perencanaan tujuan dan strategi dengan tepat
Setiap tahun biasanya ada rencana besar yang wajib didisain oleh suatu organisasi untuk menentukan anggaran, target, metode penilaian, breakdown visi-misi, dan alokasi resource lainnya. Jangan alergi dengan rencana ini semua, karena perencanaan memang bukan segala-galanya. Namun tanpa rencana, anda sering tidak bisa berbuat apa-apa. Ada saja kasus dimana di pertengahan tahun sangat dibutuhkan suatu perangkat baru, yang akhirnya tidak bisa dibeli hanya karena anggaran tidak ada alokasinya. Beruntunglah anda jika manajemen anggaran dalam perusahaan anda cukup fleksibel.
8. Pelatihan, pengembangan dan pelibatan karyawan
Keselematan, kesehatan, kesejahteraan dan moral para karyawan adalah syarat yang harus dipenuhi agar para karyawan dapat berpartisipasi aktif dalam pengembangan. Jangan asal memberi pelatihan. Beri pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan, dan ini harus diiringi dengan upaya membangun iklim pengembangan diri karyawan itu sendiri, dengan rajin meng-upgrade diri. Jadikan organisasi anda menjadi learning organization, dan jangan ragu-ragu untuk mempelajari knowledge management.
Ada istilah tacit knowledge, yaitu pengetahuan dan ketrampilan yang ada di kepala karyawan, yang belum didokumentasikan dengan baik. Pengetahuan itu berpotensi hilang begitu saja, karena memang tidak semua orang senang menulis atau bisa menulis. Karenanya upayakan mengelola knowledge sebaik-baiknya.
9. Pelibatan supplier
Jaga hubungan Lab anda dengan para mitra dan vendor, termasuk para pejabat Lembaga Akreditasi. Memang sebagiannya bukan supplier, namun semangat yang diusung di sini adalah buatlah networking seluas-luasnya dan manfaatkan dengan baik untuk mendukung kinerja Lab. Perlakukan supplier menjadi bagian dari Lab itu sendiri, karena saat suatu perangkat mengalami masalah, seringkali anda mau tak mau harus menghubungi suppliernya. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan informal (pertemanan) sangat efektif dalam mendukung pekerjaan, dibandingkan hanya mengandalkan hubungan formal belaka. Tentu saja skema win-win solution harus diutamakan agar para supplier juga “senang” bekerjasama dengan pihak anda.
File PDF : Implementasi Model-Model Manajemen Mutu untuk Layanan Kalibrasi (1/2) |
REFERENSI
1. Engineering Education Development Project, Penerapan ISO 9000, EFQM, Malcolm Baldrige Criteria, pada Teaching Improvement Workshop (TIW)
2. Anthony C. Fletcher, Building World-Class Performance with the Baldrige Criteria
3. Ivan Mencer, ISO 9001:2000 Protocol of Standards - Maybe the way in lighting our next step and/or the dream route to excellence, Faculty of Economics - University of Rijeka, Dubrovnik, 2003
4. Australian/New Zealand Standard Quality management systems ISO 9000 — Fundamentals and vocabulary)
5. Wayne C Turner, Introduction to Industrial and Systems Engineering, Prentice Hall, 2000
Mengadopsi Teknologi Baru
0 komentar Sabtu, 04 April 2009Jangan terburu nafsu untuk menggunakan teknologi baru dalam bisnis anda. Saran ini cukup bijak namun tetap saja perlu analisa dan penyesuaian terhadap masalah dan kondisi yang kita hadapi. Terlepas apakah perusahaan anda menjadi early adopter atau slow adopter kah terhadap teknologi baru, rasanya tetap saja perlu berhitung dalam prospek ekonominya, kecuali anda tidak memiliki tujuan ekonomis dalam layanan yang anda miliki.
Jika memutuskan diri sebagai early adopter, yang berarti menjadi pihak yang pertama mengintegrasikan teknologi baru ke dalam bisnis, Wilkoff memberi petunjuk untuk fokus pada teknologi yang menjadi inti dari bisnis dan sekaligus sebagai pembeda dalam persaingan. Untuk perusahaan yang masuk dalam golongan menengah kebawah, sebaiknya pilih teknologi yang cost-nya rendah, dan memiliki efek minimal terhadap operasional, misalnya menggunakan teknologi Open-source.
Ingat kasus Commodore 64 atau Xbox 360, yang memiliki banyak bug pada awal-awal peluncurannya, atau iPhone yang harganya selangit pada awal rilisnya. Bahkan ada teknologi yang obsolete secara premature, seperti 8 track tapes, Betamax, HD DVD
Perusahaan menengah kecil memang memiliki keuntungan dalam hal kecepatan pengambilan keputusan. Namun demikian tetap saja kehati-hatian harus diutamakan, karena pada akhirnya keberhasilan adopsi teknologi baru tergantung pada tingkat penerimaan pengguna akhir. Itu artinya, kenali kastamer anda, sebelum mengambil keputusan.
Jika memutuskan diri sebagai slow adopter, tidak perlu berkecil hati karena selalu kalah langkah dengan pesaing dalam soal adopsi teknologi. Tetap saja slow adapter memiliki keuntungan tersendiri. Banyak perusahaan yang memposisikan dirinya sebagai slow adapter menggunakan strategi “fast second”, yang artinya mereka akan melihat dulu bagaimana efek yang muncul saat pesaing mengaplikasikan teknologi baru, pelajari dulu semuanya, jika cocok moment-nya maka perusahaan akan secepat kilat ikut juga mengimplementasikan teknologi tersebut.
Namun demikian bisa saja terjadi slow adopter akan kehilangan kastamer karena pesaing mampu mengaplikasikan teknologi baru yang terasa menguntungkan kastamer. Kondisi ini mungkin tidak terjadi pada kasus dimana slow adopter telah memiliki kastamer loyal.
Pikirkan baik-baik resiko yang mungkin muncul, apakah teknologi baru itu akan dapat memotong cost dan meningkatkan pendapatan. Kecepatan adopsi teknologi sebenarnya bukanlah technology problem, tetapi adalah business problem.
Kedua penggolongan sikap di atas akan berdampak pada kapan saat yang tepat untuk melakukan adopsi teknologi baru, walaupun dalam prakteknya pembagian ini tidak fixed, ada saat tertentu suatu perusahaan akan bersikap sebagai slow adapter, saat lain pada kasus dimana adopsi akan membawa keuntungan signifikan jika dilakukan secara cepat maka perusahaan akan memposisikan diri sebagai eraly adopter. Begitu juga dalam penggunaan teknologi itu sendiri, jika anda bergerak di bidang produksi mesin mobil, mungkin anda menjadi slow adapter untuk teknologi informasi, namun menjadi early adapter untuk teknologi mesin yang menjadi produk anda.
Namun ada yang menganggap sikap terhadap teknologi baru sebagai culture perusahaan, dan membaginya tidak hanya dua namun menjadi empat yaitu conservative adopter, average adopter, early adopter dan innovative/visionary.
Gambar. Technology Adoption Lifecycle
Hal ini sesuai dengan daurhidup adopsi teknologi (Technology Adoption Lifecycle – TAL) yang dikembangkan oleh Joe M. Bohlen dan George M. Beal pada 1957 dari Iowa State College.TAL menggambarkan bagaimana adopsi sebuah produk atau inovasi. Didalamnya ada “inovator” yang lebih teredukasi namun risk-oriented, “early adopter” yang cenderung muda dan menjadi pemimpin komunitas, “early majority” yang lebih konservatif namun terbuka terhadap ide baru, “late majority” yang lebih tua dan kurang teredukasi, dan akhirnya “laggard” yang sangat konservatif dan sangat kurang teredukasi.
Harus diingat juga tentang Technology Lifecycle, yang menggambarkan perkembangan sebuah teknologi dari mulai awal penemuan sampai keadaan obsolete-nya. Rinciannya adalah sbb :
1. Bleeding edge – masa dimana teknologi masih belum menunjukkan nilainya.
2. Leading edge – saat dimana teknologi sudah membuktikan kemampuannya dalam pasar namun masih jarang orang yang bisa mengimplementasikannya.
3. State of the art – masa dimana semua orang sudah sepakat bahwa teknologi tersebut merupakan solusi yang tepat
4. Dated – masa dimana teknologi tersebut masih berguna namun teknologi lain yang sejenis sudah bisa menjadi substitusinya
5. Obsolete – Masa dimana suatu teknologi sudah dikalahkan oleh teknologi lain yang sudah masuk dalam masa state of the art, masih dipelihara namun tidak lama lagi akan “diturunkan”.
BASS DIFFUSION MODEL
Tentang adopsi teknologi ini, ada teori menarik tentang pemodelan bagaimana sebuah produk baru diadopsi sebagai interaksi antara penggunanya dengan calon pengguna lainnya, yaitu model Bass Diffusion, yang dikembangkan oleh Frank Bass. Model ini adalah generalisasi secara empirik dalam dunia marketing, dan digunakan secara luas dalam peramalan produk maupun peramalan teknologi.
Gambar. Bass Diffusion Model
Model ini memiliki rumusan tersendiri (tidak dibahas di sini) lengkap dengan berbagai koefisiennya. Mode ini disebut-sebut cocok untuk meramalkan ukuran dan kecepatan jaringan sosial online (facebook, friendster, dll).
Nampak dalam model bahwa jumlah adopter yang baru akan semakin berkurang seiring dengan waktu, dan keunikan terjadi dimana saat jumlah imitasi makin bertambah menuju puncak, pada saat itu jumlah inovasi menurun.
EVALUASI UNTUK ADOPSI TEKNOLOGI BARU
Bagaimana cara melakukan evaluasi untuk adopsi teknologi baru ini ?
Berikut tips praktis yang dapat anda terapkan :
1. Apakah adopsi itu akan benar-benar menguntungkan secara signifikan dalam bisnis ? Apakah adopsi ini merupakan teknologi inti dalam bisnis anda ? Apakah teknologi ini akan mampu memberi diferensiasi pada bisnis anda ? Apakah manajemen atau para pengambil keputusan dalam perusahaan anda sudah memiliki informasi yang cukup ? Bagaimana pula dalam hal proses pengambilan keputusannya, apakah menggunakan metode yang tepat ?
2. Teknologi baru sering berarti masalah baru. Apakah anda memberi toleransi pada munculnya bug yang biasanya menyertai suatu teknologi baru yang baru dirilis ?
3. Teknologi baru sering berarti harga tinggi. Walaupun cenderung harga akan turun nantinya, anda harus bisa mengira-ngira kapan itu akan terjadi dan berapa besar penurunannya.
4. Ketahui pasar, kondisinya seperti apa dan bagaimana pula dengan posisi pesaing anda di pasar itu.
5. Jika evaluasi dirasa sangat sulit, carilah bantuan dari konsultan atau siapa saja yang berkompeten. Untuk IT, kegiatan ini bisa dilakukan tanpa biaya (free).
6. Bagaimana efek adopsi ini terhadap karyawan anda ? Bagaimana jika anda tidak memiliki cukup karyawan baik dalam jumlah maupun kualitas dalam proses adopsi ? Berapa besar biaya pada kurva pembelajarannya (misalnya untuk pelatihan) ?
Ingatlah bahwa memperkenalkan sistem baru bisa jadi memberi masalah pada karyawan anda jika tidak di-manage dengan baik. Terkadang adopsi gagal bukan karena soal teknologinya, tapi soal manusia-nya. Karenanya gunakan tips berikut :
a. Cek level usabillity teknologi baru tersebut, misalnya dengan terlebih dulu “pilot group study”, yang nantinya diharapkan memberi umpan balik.
b. Buat pengetesan pada teknologi baru tersebut, apakah dapat memenuhi semua requirement secara komprehensif. Tantangannya adalah bagaimana membuat daftar requirement yang lengkap untuk ini.
c. Cari informasi dari grassroot, dimana terkadang karyawan-karyawan di layer bawah, yang justru lebih tahu tentang bagaimana efek adopsi teknologi baru ini, tidak dapat mengemukakan pendapatnya karena suatu alasan, misalnya karena sarana komunikasi tidak ada, manajemen yang “angkuh” atau karyawan memiliki ketidakmampuan mengungkapkan masukannya.
Catatan :
a. Sebagian provider teknologi baru menyiapkan cara tersendiri untuk mempermudah kita melakukan adopsi teknologi baru, misalnya dengan membuat demo atau pelatihan menggunakan video. Mereka juga berusaha untuk menunjukkan teknologinya benar-benar memiliki dampak riil untuk nilai ekonomis.
b. Sebegitu pentingnya faktor manusia ini, muncul teori sosiologi yang disebut Teori Normalization Process, yang ditemukan oleh Carl. R. Maryand Tracey. Teori ini menganalisa bagaimana impelementasi dan integrasi antara teknologi baru dan inovasi organisasi.
7. Apakah anda memiliki rencana cadangan jika adopsi ini gagal membantu anda mencapai tujuan ?
FORECASTING
Tentang peramalan, tentu anda sudahs sering mendengar kata “ekstrapolasi”. Ya, ini adalah salah satu saja dari metode peramalan yang ada. Dalam adopsi teknologi baru, mungkin saja mengharuskan anda melakukan peramalan. Mungkin tidak pada teknologinya sendiri, tetapi pada obyek yang dipengaruhi oleh teknologi baru tersebut, misalnya demand, efek kepuasan, dll.
Berikut ini saya berikan beberapa metode peramalan :
1. Metode Time Series, menggunakan data history sebagai basisnya. Contoh metode ini adalah :
a. Rolling forecast is a projection into the future based on past performances, routinely updated on a regular schedule to incorporate data.
b. Moving average
c. Exponential smoothing
d. Extrapolation
e. Linear prediction
f. Trend estimation
g. Growth curve
h. Topics
Peramalan teknolginya sendiri apakah satu domain dengan peramalan pasar
Peramalan ini apanya yang diramalkan ? Kecanggihannya, manfaat bagi orang, eksistensinya, pasarnya, dampak buruknya,
2. Metode Causal atau Ekonometrik
Ini menggunakan asumsi atau perkiraan tentang faktor yang mempengaruhi variabel yang diramalkan. Contoh yang sering diberikan untuk ini adalah peramalan faktor cuaca untuk meramalkan penjualan payung. Bisa jadi peramalan cuaca lebih mudah daripada peramalan penjualan payung.
a. Regression analysis using linear regression or non-linear regression
b. Autoregressive moving average (ARMA)
c. Autoregressive integrated moving average (ARIMA), misalnya Box-Jenkins
d. Econometrics
3. Metode Judgmental
Judgmental forecasting methods incorporate intuitive judgements, opinions and subjective probability estimates.
a. Composite forecasts
b. Surveys
c. Delphi method
d. Scenario building
e. Technology forecasting
f. Forecast by analogy
4. Metode lainnya
a. Simulation
b. Prediction market
c. Probabilistic forecasting and Ensemble forecasting
d. Reference class forecasting
KASUS : PROSES INTEGRASI PADA OTOMASI MANUFAKTURING
Dalam dunia produksi barang (manufacturing), ada beberapa skema yang dapat dijadikan alternatif dalam proses otomasi manufakturing, yang tak lain adalah skema dalam mengadopsi teknologi baru ke dalam teknologi yang sudah dimiliki sebelumnya. Skema-skema tersebut antara lain :
1. Manufacturing Cells
Di sini adopsi dilakukan di dalam sebagian proses manufakturing saja, dengan pengelolaan yang diserahkan pada sekelompok karywan tertentu saja, sehingga membentuk “pulau-pulau” dalam proses produksi. Di tiap pulau ini dihasilkan bagian produk yang memiliki kesamaan karakteristik. Tujuan dari skema ini adalah bagaimana cost dapat lebih efektif dan aliran kerjanya pun dapat lebih efektif dibandingkan dengan skema tradisional.
2. Flexible Manufacturing System (FMS)
Sesuai namanya, sistem ini dipakai terutama untuk memproduksi barang dengan cara yang sangat fleksibel, jadi bisa lebih antisipatif terhadap perubahan, baik yang dapat diprediksi maupun yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Dengan mesin-mesin FMS, maka jika akan membuat produk yang jenisnya baru, maka tidak perlu ada perubahan mesin. Atau jika akan membuat produk yang sama namun memiliki jumlah produksi yang lebih banyak, maka cukup menambah mesin dengan spesifikasi yang tidak jauh beda dengan mesin-mesin sebelumnya.
Gambar. Contoh FMS-200
3. Computer-Integrated Manufacture (CIM)
Pengertian praktis CIM adalah sistem manufakturing yang memanfaatkan komputer. Itu artinya, scope dari CIM ini luas, dari mulai penggunaan CAD/CAM, Robotik, FMS, IMS, dll. Dalam implementasinya, ada dua pendekatan yaitu step-by-step dan integrasi lengkap.
4. Computer Aided Design and Manufacture (CAD/CAM)
Pada mulanya CAD ini adalah penggunaan teknologi untuk menggantikan meja gambar. Namun kini sudah berkembang lebih pesat lagi, bahkan masuk ke manufakturing dengan adanya teknologi CAM, sehingga CAD dan CAM akhirnya bersinergi untuk menghasilkan disain yang dihasilkan oleh bantuan mesin yang dikontrol menggunakan program komputer.
Dan secara umum, manfaat penerapan CAD / CAM ini dapat digambarkan sebagai berikut :
5. Intelligent Manufacturing System (IMS)
IMS ini adlaah kolaborasi antara beberapa institusi terutama dalam riset dan pengembangan, bersifat global, dibuat untuk pengembangan teknologi processing dan manufakturing masa depan. Pelopornya adalah Jepang, dan akhirnya saat ini sudah melembaga dengan anggota antara lain Switzerland, Korea, USA, Uni Eropa. Universitas, pabrikan, pemerintahan dan beberapa lembaga lain turut mendukung IMS ini.
IMS ini dibentuk dengan kesadaran sepenuhnya bahwa saat ini persaingan bukan antar perusahaan lagi, tapi antara kawasan, atau antar mata rantai supply bahan mentah. Karenanya sinergi dalam berbagai bidang, diharapkan mampu menghasilkan produk yang lebih baik lagi. Sinergi pada IMS itu berupa pengembangan dalam hal bidang-bidang berikut :
1. Konsep pengembangan sistem produksi
2. Teknologi komunikasi dan informasi terkait produksi
3. Teknologi pemrosesan dan kontrol perangkat
4. Teknologi aplikasi untuk material baru
5. Faktor manusia dalam produksi
Gambar. Bagan organisasi IMS
OPERASI TEKNOLOGI BARU
Operasi teknologi baru terdiri dari beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut :
CHANGE MANAGEMENT
Ini dia yang sering tidak dianalisa secara sungguh-sungguh ketika teknologi baru akan diadop. Konsentrasi organisasi hanya kepada teknologinya saja, padahal itu hanya sedikit saja dari aspek yang harus dikaji dalam-dalam jika adopsi ini ingin berhasil.
Change Management perlu dipersiapkan, dalam berbagai levelnya, dimana setiap level jelas butuh perlakuan yang berbeda-beda. Yang jelas seluruh level harus memberi kontribusi nyata bagi proses adopsi ini.
Apa saja persyaratan yang harus dipenuhi dalam kaitan dengan Change Management ini ?
1. Dibutuhkan pendekatan profesional dan ketrampilan yang berbeda dari operasi ongoing
2. Tujuan dan prioritas yang jelas
3. Tanggung jawab yang jelas daam menformulasikan dan mengimpelementasikan program perubahan
4. Pendekatan sosio-teknikal perlu diimbangi dengan teknologi, struktur dan orang
5. Peran aktif dari supervisi, yang menjadi “penghubung” level atas dengan level bawah dari organisasi
Setelah menyadari semua ini, maka berikutnya yang tidak kalah penting adalah perlunya analisa terhadap aspek behaviour, meliputi :
1. Perubahan akan lebih mulus jika dapat didemonstrasikan dalam suatu pilot project, tangible dan dibagi dalam beberpa tahapan agar dapat lebih mudah dalam implementasinya.
2. Buatlah analisa “Force-field”, yang merupakan metode audit untuk membedakan antara pendukung dan penolak program
3. Lakukan “stakeholder analysis” yang bertujuan untuk melihat siapa saja dalam organisasi yang dipengaruhi oleh suatu program perusahaan, bagaimana sikapnya terhadap perusahaan, dan bagaimana membuat strategi yang tepat untuk mengantisipasi hal itu.
Masih ada beberapa hal di dalam Change Management ini yang bisa dianalisa, misalnya dalam soal struktur pekerjaan. Setelah adopsi teknologi dilakukan, mungkin akan terjadi desain ulang terhadap tugas keseharian para karyawan. Mungkin perlu ada penyesuaian gaji. Mungkin perlu ada pelatihan-pelatihan.
TIP PRAKTIS
Dari uraian sebelumnya yang cenderung berorientasi teori, ada beberapa tip yang diberikan para ahli dalam me-manage perubahan teknologi, yaitu :
1. Hindari perubahan yang technology-driven, karena teknologi memiliki kecepatan perubahan yang cepat
2. Jangan sekali-kali berpikir bahwa persoalan manusia akan dapat diselesaikan dengan solusi teknik
3. Periksalah apa saja efek dari perubahan teknologi pada perusahaan anda
4. Pertimbangkan perubahan aliran informasi
5. Identifikasi efek dari keamanan pekerjaan, sistem payment dan kesempatan karir
6. Perhitungkan kapan waktu yang tepat untuk pengadaan dan instalasi teknologi baru.
REFERENSI
1. Frederick Betz, Strategic Technology Management, McGraw – Hill International Editions, 1994
2. Adopting New Technology, There's A Case For Being The Tortoise Or The Hare http://www.processor.com/editorial/article.asp?article=articles/p2624/32p24/32p24.asp
3. Steven Warren, When is it time to adopt new technology ? http://blogs.techrepublic.com.com, 2007
4. Adopting New Technologies in your Business, http://blog.bigcontacts.com/bigcontacts/2008/09/adopting-new-te.html
5. Help Technophobes Adopt New Technology, http://www.vodafone.com.au/business/businesssense/technologyandsolutions/adoptnewtechnology/index.htm
Memahami Perilaku Kastamer Layanan Kalibrasi
0 komentar Jumat, 03 April 2009Untuk memahami perilaku kastamer layanan kalibrasi, mari kita lihat dulu teori di balik kegiatan pemahaman perilaku kastamer kita. Teori ini bisa membantu kita untuk memahami kastamer secara lebih sistematis lagi, walaupun tidak ada jaminan bahwa marketing layanan anda pasti akan lebih baik lagi, karena untuk hal ini tergantung bagaimana anda bisa mengelola informasi-informasi ini dengan baik untuk kemudian membuat strategi yang tepat.
Dalam teori model Perilaku Membeli, keputusan untuk membeli dimulai dengan stimulus, seperti bagan di bawah ini.
Dari bagan ini, mungkin ada beberapa pelajaran yang bisa diambil. Misalnya dalam soal stimulus, dimana pada bagan disebutkan dua stimulus, yaitu marketing dan lingkungan. Dulu saat ISO 9000 sedang booming di Indonesia, stimulus “Lingkungan” cukup mendorong calon pengguna jasa layanan kalibrasi, karena kalibrasi adalah salah satu kewaj iban sebagai pelaksanaan klausul ISO. Namun saat ini seiring dengan memudarnya kepopuleran ISO 9000 ini, maka stimulus ini sudah mulai kurang dapat diandalkan.
Karenanya kini anda hanya dapat berkonsentrasi pada stimulus lainnya yaitu stimulus “Marketing”. Contoh stimulus ini adalah promosi, kualitas dan penawaran yang baik. Itu artinya anda harus melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menambah nilai pada besaran-besaran ini. Lakukan promosi lebih gencar dan lebih cerdik lagi. Kekuatan ICT melalui Internet bisa anda jadikan alternatif untuk itu. Untuk penawaran, anda harus melakukan manajemen harga yang lebih flexible. Mungkin anda tidak harus menurunkan harga, tetapi bagaimana membuat kastamer puas dengan harga yang harus dibayarnya, dan untuk itu layanan yang diberikan harus dirasakan sepadan dengan harga yang harus dibayar. Dan untuk itu, salah satu hal yang harus menjadi concern berikutnya adalah kualitas. Bagaimana kualitas layanan kalibrasi anda ?
Faktor yang mempengaruhi perilaku kastamer adalah faktor budaya, sosial, personal dan psikologikal. Keempat faktor ini memiliki perbedaan kadar pengaruh pada perilaku kastamer. Mungkin ada diantara anda yang merasa pembahasan faktor ini tidak perlu, tapi percayalah bahwa bisa jadi kastamer meminta layanan kalibrasinya pada anda hanya karena keinginan seorang manajer logistiknya agar terlihat menonjol dan dikenal sebagai orang yang paham benar soal teknik maintenance di mata direkturnya.
Ada juga kasus dimana Lab Kalibrasi mendapatkan banyak order kalibrasi bukan dari prestasi divisi marketing-nya, tapi karena faktor sosial yaitu dengan adanya kelompok referensi (reference group). Ada juga kejadian tawaran layanan kalibrasi ditolak kastamer karena sang pimpinan memiliki persepsi bahwa layanan ini tidak ada manfaat riil-nya, dan ini adalah pembahasan dalam faktor psikologikal. Termasuk dalam pembicaraan faktor ini, ketika ada Lab Kalibrasi mengingatkan kastamer untuk melakukan kalibrasi ulang (biasa disebut program recall) karena masa kalibrasi yang sudah mendekati habis, ternyata kastamer tidak menanggapinya karena ada pengalaman pelayanan yang tidak mengenakkan saat layanan pada tahun sebelumnya.
Catatan : Pengaruh faktor psikologikal meliputi motivasi, persepsi, pengalaman / pembelajaran, keyakinan dan sikap.
Lihatlah betapa faktor persepsi juga berpengaruh terhadap perilaku pembeli. Mudah saja untuk menghubungkannya dengan operasional layanan sehari-hari. Anda harus memiliki customer service yang handal untuk memberi persepsi layanan yang baik. Anda harus membenahi ruang layanan dengan tata meja, kursi, komputer, TV yang baik. Mungkin anda harus menyiapkan skill tambahan pada para teknisi kalibrasi agar dapat menjelaskan hasil kalibrasi alat ukurnya dengan bahasa yang baik. Dan mungkin puluhan program lain yang dapat mengangkat tinggi-tinggi persepsi pelanggan.
PROSES KEPUTUSAN MEMBELI
Dalam teori pembelian, peran dalam membeli meliputi peran sebagai initiator, decider, influencer, user dan akhirnya buyer. Jangan sekali-kali meremehkan pengetahuan tentang aktor-aktor yang ada di balik order layanan kalibrasi. Percuma saja jika tim marketing anda melakukan pendekatan marketing pada orang yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap order layanan.
Temukenali siapa yang menjadi initiator, siapa yang menjadi decider, siapa yang menjadi influencer. Karena pendekatan antara aktor-aktor ini memang berbeda. Yang menjadi masalah adalah seorang tidak fix menjadi aktor tertentu saja, dan seseorang bisa jadi berperan ganda. Semua tergantung pada gaya manajemen masing-masing kastamer. Namun demikian alur umumnya dapat anda pegang. Teknisi pengguna alat ukur biasanya berperan sebagai influencer, sedangkan direktur teknik biasanya berperan sebagai decider, orang-orang yang berada di divisi mutu biasanya berperan sebagai initiator.
Untuk mengetahui semua aspek perilaku kastamer ini, perlu diadakan riset. Pendekatan riset ini bermacam-macam, antara lain :
1. Introspective Methods yaitu dengan melakukan wawancara kepada kastamer untuk melakukan evaluasi terhadap kebiasaan yang dilakukan
2. Retrospective Methods yaitu dengan melakukan wawancara terhadap kastamer mengenai tanggapannya atas suatu produk yang akan dijual
3. Prospective Methods yaitu dengan melakukan wawancara terhadap kastamer untuk mengetahui informasi tentang apa yang nanti akan dibeli
4. Prescriptive Methods yaitu dengan perilaku kastamer dipelajari melalui suatu model
Riset ini mungkin tidak perlu anda lakukan dengan budget tinggi, atau dengan membentuk suatu tim tertentu. Mungkin cukup dengan melakukan obrolan santai dengan para teknisi kastamer ketika anda mengantarkan alat ukur yang sudah dikalibrasi. Atau mungkin sesekali anda melakukan presentasi kepada divisi mutu di perusahaan kastamer. Atau sekedar via telepon antar manager anda dengan manager kastamer. Posisikan semua personel Lab menjadi “PR” bagi Lab, tidak hanya mengandalkan customer service yang biasanya tidak terlalu mengerti tentang teknis. Itu artinya para teknisi dan engineer juga harus mengetahui tentang proses bisnis dan manajemen tarif layanan, tidak hanya mengetahui tentang hal teknis semata, sehingga dapat menjawab dengan segera ketika kastamer bertanya tentang price setelah berdiskusi tentang aspek teknis kalibrasi.
Jangan lupa sesekali mengundang calon kastamer atau kastamer berkunjung ke Lab anda, baik dalam skema formal misalnya customer audit, maupun sekedar kunjungan informal. Mudah-mudahan perusahaan anda tidak keberatan sekedar mengeluarkan anggaran konsumsi untuk acara seperti ini. Dari pengamatan di lapangan selama ini, menurut saya skema ini jarang digunakan oleh Lab, malah sering dihindari karena dikawatirkan merepotkan personel Lab, atau dikawatirkan kastamer akan mencuri ilmu, atau dikawatirkan kastamer akan melihat kelemahan Lab. Tentu ini semua terserah pada kebijakan manajemen anda, tetapi saya pikir jika Lab dikelola dengan baik, hal-hal seperti ini rasanya tidak perlu dikawatirkan secara berlebihan.
Referensi
Agus Ahmad S, Identifikasi Peluang Bisnis Melalui Pemahaman Perilaku Konsumen, IT Telkom, 2009