Tulisan kali ini adalah tentang bagaimana implementasi konsep Continuous Improvement dalam Lab Kalibrasi. Sebenarnya hal ini bukan hal yang asing lagi, karena dalam ISO 17025, ataupun ISO 9000 sudah digariskan adanya kewajiban Lab dalam menjalankan improvement yang ujung-ujungnya tidak jauh-jauh dari soal bagaimana peningkatan kualitas layanan kepada kastamer, disamping tentunya peningkatan efisiensi dan efektivitas produksi.
Namun sebelumnya akan dibahas secara singkat saja beberapa konsep yang terkait dengan continuous improvement ini. Konsep-konsep itu antara lain Toyota Production System (TPS) atau istilah lain yang lebih terkenal adalah Just in time, Total Quality Control, Total Productive Management.
Sebagian bahasan, saya ambil materinya dari buku “Tantangan Industri Manufaktur, Penerapan Perbaikan Berkesinambungan”, karya Kiyoshi Suzaki.
(buku asli karya Kiyoshi Suzaki)
KAIZEN
Pernah mendengar istilah Kaizen ? Ya, itu adalah konsep perbaikan terus menerus dengan mellibatkan seluruh karyawan dalam perusahaan, dari mulai CEO sampai pekerja paling bawah. Dengan menerapkan prinsip ini, maka bisa tercipta lean manufacturing, pembrorosan dapat ditekan secara signifikan.
Sebenarnya Kaizen adalah filosofi bangsa Jepang yang meliputi semua aspek kehidupan. Mulai diterapkan bangsa ajaib ini saat masa recovery perang dunia dua, dan perusahaan yang mempelopori penerapan Kaizen ini pada waktu itu adalah Toyota.
Berbicara tentang Kaizen berarti bicara tentang improvement di semua aspek, oleh semua karyawan, setiap hari, perorangan maupun tim (kecil maupun besar). Dalam bahasa Inggris-nya dikenal sebagai continuous improvement.
Apa saja yang dilakukan pada kaizen ?
Merujuk pada siklus Kaizen, maka kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut :
1. Menstandarkan operasi
2. Mengukur operasi yang sudah distandarisadi (temykan waktu siklus dan jumlah barang pada inventory)
3. Buat pengukuran sesuai keperluan
4. Membuat inovasi untuk memenuhi persyaratan dan peningkatan produktivitas
5. Standarisasi operasi yang baru
6. Siklus kegiatan berkelanjutan tanpa batas
Siklus ini dikenal dengan nama Shewhart cycle, Deming cycle, atau PDCA (lihat gambar).
(Siklus PDCA, gambar diambil dari Wikipedia)
TOYOTA PRODUCTION SYSTEM (TPS)
TPS adalah sistem sosio-teknikal yang dikembangkan Toyota, yang mengatur proses dalam manufakturing dan logistik pada pabrik mobilnya, termasuk interaksi antara pemasok dan para kastamer. Bagaimana cara memproduksi hanya barang yang dibutuhkan, pada saat yang tepat dan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan.
TPS ini sebenarnya adalah adopsi dari “Just in Time Production”. Prinsip-prinsip TPS inilah nantinya melahirkan konsep The Toyota Way.
Tujuan TPS ini utamanya adalah untuk menghilangkan pemborosan yang terjadi pada semua aspek manufaktur. Apa itu pemborosan ? Mungkin banyak tafsirannya dan bisa disesuaikan dengan sikon kerja masing-masing. Sebagai pembanding, Toyota mendefinisikan pemborosan dengan kalimat sederhana namun sangat baik, yaitu “jika sesuatu tidak memberi nilai tambah, itulah pemborosan”.
Pemborosan yang dimaksud bisa bervariasi penyebabnya, antara lain :
1. Over produksi
Untuk manufaktur umumnya ini menjadi masalah, namun untuk kalibrasi rasanya masalah semacam ini muncul pada saat sertifikat yang sudah selesai dibuat terlalu menumpuk, atau perangkat UUT yang sudah dikalibrasi sudah mulai melebihi kapasitas inventory. Dibutuhkan space dan manajemen ruang ekstra untuk mengantisipasi kejadian tertukarnya dokumen atau pencarian dokumen atau perangkat yang lama akibat menumpuknya item tersebut.
2. Waktu menunggu
Ini sering menjadi masalah yang berada di bawah gunung es sehingga tidak nampak di permukaan. Dalam proses bisnis kalibrasi, umumnya memiliki tahapan secara berurutan dari mulai customer service, inventory, proses kalibrasi, perhitungan uncertainty, pemeriksaan kelengkapan datasheet, pengetikan sertifikat, approved signatory process, inventory, dan akhirnya kembali ke customer service lagi saat kastamer mengambil perangkat (UUT) nya kembali.
Prinsip dasar tiap titik-titik layanan ini adalah FIFO (First in first out), namun kenyataannya sering berbelok menjadi pola tak beraturan, apalagi untuk memenuhi permintaan kusus dari kastamer ataupun memenuhi permintaan manajemen dengan alasan tertentu. Bagi teknisi, FIFO ini sering dilanggar karena naluri alamiah manusia untuk “mendahulukan yang sederhana dulu, yang sulit atau kompleks dikerjakan belakangan”.
Hasil akhir dari pola demikian, akhirnya terkadang ada kastamer yang beruntung menerima layanan yang super cepat, sebaliknya ada juga kastamer yang “bernasib sial” menerima layanan yang super lambat.
3. Transportasi
Sempat terjadi dalam ruang workshop kalibrasi saya, manajemen memutuskan untuk membuat ruang kusus yang baru untuk inventory baik bagi perangkat kastamer yang masuk maupun yang siap dikembalikan kepada kastamer. Ruangnya memang lebih besar daripada inventory sebelumnya, namun ada kesalahan mendasar yaitu makin jauhnya jarak antara ruang proses kalibrasi dengan inventory.
Anehnya itu baru kami sadari waktu berjalan satu atau dua minggu. Jelas terasa saat mengangkat perangkat yang cukup berat antara inventory dan ruang proses kalibrasi. Dan ironisnya beberapa bulan kemudian manajemen memutuskan menutup rapat pintu keluar gedung yang berada dekat inventory dengan alasan keamanan, sehingga kini giliran jarak antara inventory dengan ruang customer service menjadi lebih panjang.
Sederhana saja masalahnya, waktu akan terbuang percuma hanya untuk transportasi yang sebenarnya bisa diatur menjadi lebih cepat.
4. Pemrosesan
Seringkali proses kalibrasi tertunda di tengah jalan karena salah satu calibrator atau perangkat standar yang digunakan sedang digunakan oleh teknisi lain. Tidak jarang suatu konektor yang dibutuhkan tidak ada di tempat karena terbawa oleh teknisi lain yang sedang melakukan kalibrasi on-site yang sengaja membawa konektor dengan jumlah berlebihan “hanya” sebagai cadangan, tanpa ada argumen kuat.
5. Tingkat Persediaan Barang
Ruangan Lab kalibrasi saya sebenarnya cukup ideal, tidak terlalu besar juga, tapi jadi terasa padat dengan perangkat. Setelah diadakan analisa ternyata ada sepertiganya yang hampir tidak pernah digunakan selama setahun belakangan ini. Mungkin hanya akan digunakan jika perangkat sejenis dipakai semua, misalnya untuk keperluan kalibrasi on-site, itupun ada beberapa perangkat standar yang jumlahnya lebih dari tiga bahkan empat untuk jenis yang sama.
6. Gerak
Ini “penyakit” yang sering muncul jika seorang teknisi tidak disiplin meletakkan perangkat ataupun toolkit sesuai dengan posisinya semula. Waktu terbuang “hanya” untuk mencari, mondar-mandir, kelihatan sibuk namun tidak produktif.
Kelihatannya sederhana, namun ini perlu diperhatikan dengan seksama, sesederhana kuncinya yaitu disiplin dan mau peduli.
7. Cacat produksi
Untuk kategori ini mungkin diperlukan proficiency testing antar teknisi, sekaligus melihat bagaimana mereka bekerja berdasarkan rambu-rambu prosedur mutu. Namun cara ini biasanya untuk ukuran Indonesia tidak efektif, karena saat test itu diadakan, semua teknisi cenderung akan berakting bak pemain sinetron, semua prosedur akan diikuti dengan sebaik-baiknya. Mungkin pengawasan ala orde baru yang disebut pengawasan melekat (waskat) bisa menjadi solusinya, dimana Manager Teknis atau teknisi senior mengawasi pekerjaan teknisi di bawahnya dalam kerja sehari-hari. Pengawasan yang dimaksud tentu bukan seperti seoranng mandor mengawasi kerja para tukangnya.
PENYEDERHANAAN, PENGGABUNGAN DAN PENGHAPUSAN
Ketiga kegiatan inilah, baik sendiri-sendiri maupun gabungan antar dua bahkan ketiganya, mampu memberikan solusi pada pemborosan dan potensi pemborosan yang diuraikan sebelumnya.
Meja kerja di ruang proses kalibrasi saya didisain mengelilingi ruang. Jadi jika saya berdiri di tengah ruangan, itu artinya saya dikelilingi meja-meja yang diatasnya berderet banyak perangkat standar. Jadi saya dapat leluasa melihat tampak depan semua perangkat yang dimiliki lab saya.
Kusus meja untuk unit under test (UUT) yaitu alat ukur kastamer yang siap dikalibrasi, sebagiannya diletakkan di meja dorong (meja yang diberi roda di kaki-kakinya), sehingga memudahkan untuk diputar-putar jika ingin melihat serial number, kondisi konektor power, pemasangan kabel GPIB, dan lain-lain.
(cotoh meja dorong, gambar dari http://www.russconstructionllc.com)
(contoh meja kerja)
Perlakuan yang sama juga kami terapkan untuk beberapa perangkat standar yang paling sering digunakan alias paling “mobile”, sehingga jika akan digunakan oleh teknisi lainnya tinggal mendorong mejanya, tidak perlu mengangkatnya.
Tapi sayangnya jarak antar meja-meja kerja tersebut dengan tembok ruang lab agak sempit, sehingga jika ada pemasangan kabel tertentu pada konektor yang kebetulan ada di bagian belakang perangkat standar, muncul kesulitan tersendiri, terutama bagi teknisi yang kebetulan berbadan besar atau gemuk.
Di ruang inventory juga perlu menataan, yang sebenarnya sederhana saja, namun cukup bermanfaat untuk kecepatan dan ketepatan dalam bekerja. Kelompokkan saja perangkat-perangkat yang ada di inventory berdasarkan kastamer pemiliknya, beri pita dengan warna yang sama, sehingga teknisi mudah mengenalinya. Kalau perlu ada plastik kusus yang diikatkan ke perangkat tersebut sebagai tempat kabel, card, konektor ataupun buku manual milik kastamer, berikut daftar barang milik kastamer. Mungkin agak repot di awalnya, namun akan jauh lebih sederhana di akhir proses.
TOTAL QUALITY CONTROL (TQC)
TQC adalah konsep pembangunan kualitas di bidang bisnis dengan mengerahkan semua orang dari segala organisasi perusahaan agar memenuhi kebutuhan kastamer. Perlu dianalisa apa sebenarnya kebutuhan kastamer dan jawaban dari pertanyaan inilah yang kemudian disinkronkan dengan spesifikasi produk atau layanan yang diberi.
Dalam TQC ini kita mengenal penerapan statistical quality control dan perbaikan kualitas (quality improvement). Sedangkan parameter kualitas pada produk bukan saja soal kualitas fisik saja, tapi juga mencakup dimensi, operasi, lingkungan, keselamatan, reliabilitas, dan kebutuhan pemeliharaan.
TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE (TPM)
TPM adalah konsep pemeliharan yang produktif, ditujukan untuk mencapai efektivitas menyeluruh dari sistem produksi melalui keterlibatan semua orang dalam organisasi. Singkat kata, tujuannya adalah “zero error, zero work-related accident, and zero loss”.
Dengan menerapkan TPM ini maka jumlah teknisi maintenance dapat dikurangi, salah satunya karena perangkat dilengkapi dengan kemampuan “autonomous maintenance” dan dimodifikasi agar reliability-nya semakin tinggi. Bahkan ada istilah pencegahan maintenance dan peningkatan maintenance (Maintenance prevention and Maintainability Improvement) yang mengindikasikan konsentrasi TPM dalam masalah pemeliharan bagi peningkatan produktivitas.
PERBAIKAN PROSES UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
Ada 12 prinsip yang diajukan Kiyoshi Suzaki untuk perbaikan proses, yaitu :
1. Penataan tempat kerja
2. Pengembangan kecepatan set-up
3. Mengurangi kegiatan transport
4. Mengembangkan alat bantu otomatisasi
5. Penanganan beberapa proses
6. Sinkronisasi proses
7. Lot berukuran satu
8. Konsep Jidoka
9. Poke-Yoke, alat anti salah
10. Menghindari gangguan mesin
11. Penetapan cycle time
12. Standarisasi kerja
Gambar perbandingan layout jakur dan lintasan kerja operator
Cobalah bandingkan antara layout jalur formasu U dengan layout dengan formasi I atau L, mana kira-kira menurut anda yang paling dapat mengatasi pemborosan ? Tentu semua tergantung pada kondisi infrastruktur ruangan lab yang anda miliki. Namun secara teoritis, formasi U menjanjikan penghematan lintasan perjalanan operator dan benda kerjanya.
Hal lain yang dapat dilakukan dalam perbaikan proses adalah melakukan analisis proses produksi, baik dari kuantitasnya, rute proses kalibrasinya, kemungkinan melakukan grouping dan pengembangan ide-ide baru untuk perbaikan proses secara keseluruhan.
Contoh di lab kalibrasi saya, diantara tiga ribuan alat ukur yang kami layani setiap tahunnya, separuhnya adalah perangkat ukur kesehatan jaringan kabel tembaga yang biasa disebut sulim. Alat ini identik dengan multimeter biasa, namun terintegrasi (embedded) ke perangkat sentral dan MDF. Karena sifatnya yang sederhana, proses kalibrasinya pun hanya memerlukan waktu singkat saja (jika kondisi normal), data kalibrasinya sederhana, maka bisa digrouping untuk mendapatkan perlakuan kusus. Mungkin tidak perlu teknisi senior dalam melakukan kalibrasinya, sertifikat kalibrasinya pun bisa dibuat lebih sederhana dibandingkan sertifikat kalibrasi biasanya, pengetikannyapun bisa dilakukan oleh tenaga kusus agar tidak mengganggu kelancaran jalannya proses pembuatan sertifikat kalibrasi untuk alat ukur lainnya.
Untuk analisa kuantitas produk, bisa dilakukan dengan membuat resume statistik yang berisi prestasi kerja sampai periode tertentu, misalnya dari kastamer perusahaan X, lab sudah mendapatkan order berapa unit, berapa yang sudah terlayani sampai hari ini, berapa rupiah uang yang sudah atau akan didapatkan, berapa persen kinerja sampai hari ini dibandingkan target tahunan. Tambahkan gambar-gambar statistik yang mudah dibaca atau dimengerti oleh semua karyawan Lab Kalibrasi. Dengan demikian akan kelihatan kastamer mana yang perlu mendapat perlakuan esktra.
Untuk pendekatan dalam perbaikan proses, dalam dunia manufaktur dikenal isitilah metode Rabbit Chase (perburuan kelinci), arus poduksi two-piece, penggabungan dengan feeder line, dan beberapa konsep lain yang menurut hemat penulis mungkin kurang perlu diterapkan di lab kalibrasi. Mungkin perlu analisa lebih mendalam tentang kemungkinan pemanfaatannya pada mekanisme kerja di lab kalibrasi.
Pada prinsipnya usahakan untuk selalu bisa mengembangkan aliran produksi selancar mungkin. Salah satu caranya adalah jangan process-layout minded, tapi utamakan product layout.
Kemampuan mesin juga dapat diperbaiki dengan cara otomatisasi, baik hardware maupun softwarenya. Dalam perkembangan dunia instrumentasi, saat ini sudah tersedia aneka perangkat pendukung otomatisasi, misalnya penggunaan GPIB card, RS232 sampai VXI. Berdasarkan pengalaman di lab saya, membuktikan peningkatan dramatis proses kalibrasi memanfaatkan otomatisasi ini. Tentu saja biaya yang dibutuhkan harus disesuaikan dengan ramalan manfaat yang akan diperoleh, termasuk di dalamnya perlu dipikirkan kesiapan SDM yang nanti akan menanganinya.
MENGUATKAN SARAF DAN OTOT SISTEM PRODUKSI
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menerapkan kanzen pada sistem produksi, antara lain :
1. Jidoka (Otonomisasi)
Bayangkan jika proses kalibrasi dapat dilakukan oleh perangkat standar atau calibrator dengan hanya sedikit campur tangan teknisi kalibrasi, maka tenaga karyawan akan sangat dapat dihemat, dan bisa digunakan untuk melakukan hal lain. Jadi ada kecerdasan buatan yang dimasukkan ke perangkat.
Untuk melakukan hal ini, saya menyarankan penggunaan program kalibrasi memanfaatkan GPIB, RS232, Ethernet atau card-card lain yang tersedia pada perangkat. Dalam pengalaman selama di Lab, saya dan rekan-rekan teknisi sudah lama memanfaatkan GPIB dan hasilnya cukkup bermanfaat untuk menyingkat waktu kalibrasi. Untuk kalibrasi spectrum analyzer misalnya, yang tadinya membutuhkan waktu sampai 2 hari untuk sampai jadi sertifikat, ini cukup membutuhkan waktu dua jam saja. Tentu saja ada keterbatasan tertentu dimana software yang kami buat tersebut tidak mampu lagi melakukan tugasnya dengan baik, misalnya jika perangkat memang tidak dapat berfungsi dengan baik atau ada gangguan dengan komunikasi antar perangkat (misalnya GPIB card-nya bermasalah).
2. Andon (Lampu Peraga Gangguan)
Sistem Andon ini bisa dilakukan dengan menggunakan pita dengan warna tertentu yang dililitkan pada bagian perangkat, misalnya warna kuning jika sedari awal perangkat yang akan dikalibrasi sudah ada tanda-tanda abnormal, atau pita merah jika memang ada kerusakan. Dengan menggunakan pita ini, maka teknisi senior akan memberi perhatian lebih pada perangkat ini, untuk kemudian dengan segera “mengambil alih” untuk dianalisa lebih dalam lagi, apakah masih bisa dilakukan kalibrasi ataukah harus diperbaiki dulu. Judgment ini jangan ditunda lagi, segara dilakukan agar dapat dengan segera mengkomunikasinnya dengan kastamer pemilik perangkat.
Mungkin juga perlu ada catatan singkat di tag yang berisi tentang kondisi terakhir dan sedikit keterangan data hasil ukur, tanggal ukur, inisial teknisi. Ini terutama dilakukan jika analisa lanjutan pada perangkat tidak bisa dilakukan dengan segera.
3. Poka-Yoke (Alat Anti Salah)
Pernahkah anda melihat di suatu ruang workshop atau bengkel terdapat lemari tempat menyimpan toolkit (obeng, tang, kunci inggris, kabel) dimana di dinding lemari tersebut terdapat gambar-gambar atau “jejak” toolkit ? Maka jika kita akan menyimpan toolkit itu kembali, kita tinggal melihat gambar lalu meletakkannya persis pada gambar tersebut.
Analogi serupa dapat anda jumpai jika anda sedang membuat suatu perangkat elektronik (misalnya radio) dengan cara merangkai komponen-komponen PCB, dimana di PCB-nya sendiri sudah ada gambar-gambar komponen, sehingga kita dengan mudah menancapkan dan mensolder komponen dimaksud.
Itulah gambaran poka-yoke, suatu mekanisme sederhana yang bersifat “foolproof mechanisme”. Mekanisme ini mampu mengurangi berbagai masalah kecacatan dalam proses, keselamatan kerja, kesalahan operasi, dan lain-lain tanpa memerlukan perhatian berlebihan dari operator.
Jika di tempat kerja anda memiliki ratusan bahkan ribuan buku, poka-yoke ini juga bisa diterapkan untuk mempermudah anda mencari dan meletakkan buku pada posisi yang tepat, misalnya dengan membuat tanda berupa garis diagonal (lihat gambar) pada punggung buku, bisa dengan isolasi warna atau cat. Maka jika akan menyimpan suatu buku kembali, tinggal menyesuaikan tanda tersebut sesuai urutan garis dari yang paling rendah sampai ke palingtinggi. Cara ini umumnya lebih efisien waktu dibandingkan dengan menggunakan penomoran atau kode tertentu pada buku.
Harus ditekankan pada semua karyawan bahwa penting sekali untuk menjaga kualitas barang pada sumbernya, yaitu pada proses kerja, karena semakin lama penundaan dalam menemukan masalah, semakin mahal biaya penyembuhannya. Sangat logis kiranya melakukan pengendalian justru di tempat kerja, yaitu pada kegiatan proses mulai dari tahap terawal.
Dengan kata lain, proses “menemukan kesalahan” ini jangan dilakukan pada akhir produksi saja, atau bahkan sesaat sebelum perangkat diserahkan kembali kepada kastamer. Karena jika ini dilakukan akan muncul pemborosan resource. Bayangkan saja jika inspeksi hanya dilakukan setelah sertifikat kalibrasi selesai, misalnya baru disadari bahwa ada suatu rentang pengukuran yang belum dikalibrasi, maka teknisi terpaksa mengambil perangkat itu lagi dari gudang untuk diproses kembali, standar atau callibrator di-setup kembali, uncertainty mungkin perlu diedit, dan seterusnya.
4. Papan Kontrol Produksi
Pada Lab Kalibrasi, papan kontrol produksi ini dapat diwujudkan dalam suatu control sheet, yang biasanya menyertai suatu datasheet saat awal suatu proses kalibrasi dilakukan. Jadi setiap tahap perlakuan terhadap perangkat unit under test (UUT) dapat dilihat “sejarah”-nya pada control sheet ini, termasuk jika kita ingin mengetahui sampai dimana UUT tersebut diproses, oleh siapa dan ada kendala apa.
Dalam perkembangannya, papan kontrol ini bisa digantikan peranannya oleh software aplikasi proses bisnis, dimana semua tahapan proses dimasukkan dalam database. Tentu saja ini akan memberikan banyak keunggulan dibandingkan cara manual, dengan catatan perangkat pendukungnya (komputer, jaringan, database, server) memadai.
Dan itu pula yang digunakan oleh Lab Kalibrasi saya, dimana setiap ada perangkat UUT dari kastamer sudah resmi menjadi order, maka saat itu pula “timer” kegiatan proses bisnisnya sudah dimulai. Ketika petugas gudang memasukkannya ke dalam gudang, dia memasukkan data ke dalam aplikasi database tersebut. Ketika teknisi mulai melakukan proses kalibrasi, teknisi juga memasukkan informasi, demikian pula saat pekerjaan telah selesai. Demikian seterusnya sampai perangkat UUT diserahkan kembali kepada kastamer pemiliknya.
Dengan demikian, nantinya kita bisa memiliki data berapa rata-rata waktu layanan, ataupun sekedar tracking ketika ada complaint dari kastamer, tinggal melihat riwayat perlakuan perangkat UUT tersebut selama ada di Lab Kalibrasi. Jadi tidak perlu lagi bertanya kepada sesama rekan siapa yang melakukan kalibrasi perangkat UUT tersebut, cukup melihat datanya dari aplikasi database.
Dari aplikasi ini pula, seorang manager dapat memantau apakah suatu perangkat mendapat perlakuan sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan, utamanya dalam soal waktu layanan. Jika terlalu lama, misalnya melebihi rata-rata yang telah disepakati, maka manajer bisa melakukan perbaikan pada proses. Ini sebenarnya tidak lain adalah penerapan siklus PDCA (plan, do, check, action).
Tentu saja anda bisa menerapkan hal yang berbeda, dengan variasi yang tidak sama dengan apa yang sudah saya gambarkan ini. Tergantung pada sikon Lab anda, dan resource yang dimiliki. Mungkin tidak harus menggunakan aplikasi database jika UUT tidak banyak, karena dalam pengalaman selama ini penggunaan ICT kadang terhambat soal komitmen, bahkan budaya. Ada saja kejadian karena seorang teknisi malas memasukkan data, proses memasukkan data dilakukan saat puluhan perangkat UUT selesai dikalibrasi. Maka urutan produksi tidak lagi mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
5. Membangun Kualitas pada sumbernya
Mekanisme ini menggunakan kombinasi antara control chart dengan diagram fish / diagram sebab-akibat untuk mengenali pada aspek apa penyebab munculnya masalah, apakah pada manusia, mesin, metode, material.
(gambar contoh control chart)
(Tabel tipe-tipe chart – sumber : Wikipedia)
2 komentar:
Selamat siang,
Di pabrik kami, kami juga mengguankan alat spectrum analyzer, yang ingin saya tanyakan adalah, apakah di Indonesia (Jakarta) ada dealer khusus untuk kalibrasi spectrum analyzer, dan kalau ada lokasinya di mana ? terimakasih
sementara belum da biasanya di kirim ke jepang langsung. karena di spectrum ada hene nya
Posting Komentar